"Pak, buruan bilang. Kami sudah tidak sabar," desak pria seolah adalah ayah kandung Nida.
"Bocah itu berteriak dan melepas semua obat yang menempel di badannya. Terus dia mau turun dari ranjang. Awalnya kami kewalahan karena tenaganya sangat kuat. Tapi sudah tidak begitu lagi," jelas perawat itu. "Apa anak Bapak indigo?"
"Indigo? Lah, kok, aneh, ya?" tanya pria itu balik.
"Iya, Pak. Indigo. Tapi ... kayanya Bapak heran dengan ucapan saya. Apa selama ini Bapak tidak tau?"
"O-owh, iya. Sa-saya tau, kok. Eh, maksud saya selama ini tidak separah itu," jawabnya gugup.
"Ya, sudah, Pak. Silakan masuk ke ruangan anak Bapak." Mereka langsung menuju ranjang Nida untuk memastikan bocah yang mereka tolong.
Nida melihat ke segala arah, lalu pandangannya pada sepasang suami-istri yang tidak dia kenali sama sekali. Raut wajahnya menyatakan kalau dia menerima kehadiran keduanya dengan tulus. Setelah saling pandang, wanita itu membuka pembicaraan.
"Gimana kabar kamu, Nak?"
"Aku kenapa, Bu? Kok, aku ada di sini?" Suara Nida masih terdengar parau dan lemah.
"Kamu nggak pa-pa, Sayang. Hanya kecapekan saja," ucap wanita itu menenangkan pikiran Nida.
"Oya, Ibu dan Bapak siapa? Mana mamaku?" Dokter yang ada bersama mereka langsung mengerutkan keningnya karena heran.
"Mama kamu ada, kok. Sedang ada urusan tadi. Eh, nama kamu siapa, sih?"
"Nida," jawabnya singkat.
"Wah, nama yang bagus. Persis seperti wajahnya, cantik, ayu, lembut lagi," puji wanita itu, ditemani senyuman manis.
Lama mereka berbincang tentang sekolah dan tempat yang dia sukai. Juga makanan kesukaannya yang jarang dinikmati. Nida menyebutkan sangat menyukai ayam goreng disertai nasi uduk. Namun, jarang dituruti permintaannya karena mamanya terlalu sibuk mengurusi sekolah dan lainnya. Bagi Nida sudah bukan hal yang tabu lagi bila orang tuanya melalaikan keinginan dan kebutuhannya.