"Jangan sentuh aku! Aku nggak mau pulang. Enggaaaak!" Teriakan Nida bertubi-tubi hingga satu jam lamanya. Dengan ketakutan kedua orang tua angkat itu, akan membawanya ke ustad yang tinggal di masjid. Kebetulan biasa meruqyah setiap muslim.
Belum sampai ke mobil, Nida tersadar dan kembali normal seperti tidak terjadi apa-apa. Aneh memang, keadaan Nida sulit ditebak. Terlebih saat sakit dan berteriak, selalu saja akan berubah-ubah suhu tubuhnya. Sejak itu terjadi, orang tua kandung Nida semakin membencinya.
"Nida, kamu kenapa, Sayang? Mimpi buruk kamu membuat kami khawatir, Nak," terang ibunya.
"A-aku, aku nggak pa-pa, kok, Bu. Cumanya tadi nggak bisa ngendalikan diri. Kayanya badanku dikuasai. Mamaku memaksaku pulang. A-aku nggak mau, nggak mau!"
"Kamu bilang badan kamu dikuasai, terus bilang lagi mama kamu memaksa. Maksudnya apa, Nid? Ibu nggak ngerti," heran ibunya.
"Aku juga nggak ngerti, Bu. Aku nggak tau kenapa begini. Aku nggak tau."
Lelaki itu menanyakan pada Nida kenapa tidak ingin pulang ke rumah. Apalagi pernah mengeluarkan kata benci pada mamanya. Dengan suara lembutnya, beberapa pertanyaan dilontarkan agar Nida tidak terlalu merasa terbebani atas jawaban pertanyaan itu.
Awalnya Nida tidak mau menceritakan kisahnya, tetapi setelah dibujuk dan melihat kalau orang yang telah menampungnya memiliki niat baik, maka dia pun mulai bercerita tentang yang telah terjadi.
Tanpa disadari, kedua orang tua angkat itu menitikkan air mata mendengar kisah tersebut. Betapa perih menyayat hati, pilu, bahkan seperti ada kekecewaan dari mereka atas perlakuan terhadap bocah kecil itu. Berulang kali menggeram dan ingin sekali datang untuk memberitahu kedua orang tua Nida, kalau anaknya tidak seperti yang mereka kira.
"Napa Bapak sama Ibu menangis? Kan, aku udah aman di sini," tegur Nida, dengan suara lirih.
"Nggak pa-pa, kok. Ya, sudah. Untuk sementara biar Nida tidur ditemani Ibu saja. Jangan lupa berdoa sebelum tidur," pesan bapaknya.
***
Mentari menyambut terang, ada terselip rasa sayang. Sesekali angin sepoi-sepoi menemani kesendirian Nida di beranda rumah. Sementara ibu angkatnya masih sibuk mempersiapkan sarapan. Meskipun ada asisten, tapi tidak selalu melimpahkan pekerjaan pada asisten. Baginya, selagi bisa dan sanggup mengerjakan tugas rumah, maka diselesaikan sendiri.
Kesibukan pagi ini disukai oleh Finde karena ada Nida yang harus diurus bagaikan anak kandung. Sementara Nida masih asyik di kamar.
"Hei, Bu. Lagi hamil, ya? Wah, pasti nanti anaknya laki-laki. Seneng banget," ucap Nida, melakukan kebiasaannya di bawah kolong meja cermin.
"Iya, nih. Baru kali ini saya hamil. Seneng banget."
"Wah, semoga sehat selalu, ya. Jangan lupa ngasi hadiah buat anak-anak, biar lahirannya lancar."
"Iya, iya. Aku bakalan ngasi hadiah, kok."
Saat Nida masih terus memainkan aksinya, ternyata Pak Herdy secara diam-diam mendengarkan semua cerita itu. Setiap ucapan Nida, dicermati dan dipahami. Sesekali terucap kata "aamiin" dari bibir Beliau dengan suara berbisik.
Menurutnya, Nida bukanlah anak biasa. Bila dipandang dari segi kisah bersama keluarga kandungnya, ada sesuatu yang belum mereka ketahui. Saat ini hanya sebatas tahu apa yang dilihat. Harapannya sama dengan istrinya tentang permainan Nida melalui cerita anehnya.
"Mas, ngapain sini. Kok, ngintip?" Finde mengejutkan suaminya.