MELAYANG

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #9

Ketenangan Tidak Berarti


Sepulang sekolah, Kevin mampir dan berdiri di depan sekolah Nida untuk mengetahui apakah adiknya masuk atau tidak. Sudah dua minggu mereka tidak bersama bocah aneh dan suka membuat kesal. Begitulah kalimat yang sering dilontarkan.


Sudah sejam lebih menunggu di sana. Terlihat wajah letih dari anak laki-laki itu sembari berkata "huh!" saat Nida belum terlihat. Tidak berapa lama, sekolah mulai sepi karena murid dan orang tua penjemput telah pulang. Hanya yang ada mobil khusus penjemput bagi murid tanpa orang tua. Karena tidak ada tanda-tanda Nida di sana, Kevin pulang dengan membawa sejuta kesal dan penyesalan.


"Sial!" bentaknya, lalu pergi.


Ponselnya berdering ketika hendak berjalan menuju pulang. Sebuah panggilan dari mamanya.


"Ya, Ma. Aku lagi di jalan, nih."


"Vin, pokoknya Nida jangan lagi ada di sini. Pastikan dia udah pergi jauh. Lagian kita udah tenang," ujar mamanya. "Ya, udah. Pulanglah sekarang."


Tanpa basa-basi lagi, Kevin memutus panggilan dan langsung pulang dengan hati bimbang. Keberadaan Nida masih misterius dan dipertanyakan. Mereka begitu bahagianya tanpa merasa bersalah dengan hilangnya Nida. Terlebih pada Kevin yang teramat membenci adiknya itu bagaikan musuh bebuyutan. Berbeda dengan Dila, masih punya rasa rindu pada kakaknya karena tidak punya teman bermain di rumah. Memang, mereka jarang saling bicara, tetapi kadang tertawa bersama saat menonton televisi.


"Ma, mama," panggil Kevin, begitu sampai di pintu depan. Tanpa ucapan salam, dia langsung menuju dapur.


"Ada apa, sih, teriak-teriak?"


"Nida nggak ada di sekolah. Kira-kira dia ke mana, ya?"


"Udah mati kali, biar ajalah. Mama udah nggak mau lagi mikirin dia. Udahlah bodoh, aneh, indigo, pokoknya nggak banget. Vin, makan kamu. Mama mau pergi dulu belanja ke grosir. Keperluan kita udah pada mau habis."


"Ikut, Ma," pinta Dila.


Mamanya menerima permintaan putrinya untuk ikut ke grosir langganan mereka. Seperti biasa, Dila suka memakai sandal Nida sedari dulu. Karena anak kedua itu jarang keluar rumah, jadi beberapa barang milik bocah yang hilang itu masih saja terlihat baru.


Melihat alas kaki yang Dila kenakan, hatinya berdegup kencang. Darahnya seakan berdesir naik turun tidak karuan. Namun, dia memaksa untuk mengabaikan tentang rasa kegelisahannya. Selama ini mama mereka berusaha untuk tenang, tapi hatinya tetap saja gelisah.


"Dik, kasi gula satu kilo, telur dua puluh ribu, dan minyak goreng dua liter."


"Iya, bentar," sahut pemilik grosir.

Lihat selengkapnya