MELAYANG

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #10

Tersiksa


Sudah dua hari ini badan mama Nida belum juga enakan. Ditambah lagi makan tidak teratur. Padahal kepala keluarga itu sudah sampai di rumah. Namun, tidak ada perhatian yang diberikan. Pekerjaannya lebih penting baginya daripada mengurusi istri yang sedang sakit.


Berulang kali mengeluh, cuma dijawab "hmmm". Tidak berapa lama, Dila mengeluarkan muntah tepat di sebelah wanita itu. Kemarahan yang tersimpan untuk Nida, kini diluapkan dengan mencubit tubuh Dila bagian kaki. Tentu saja bocah itu menangis karena tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Papanya yang mendengar suara tangisan putrinya, langsung menghampiri dan memastikan apa yang telah terjadi.


"Kamu bisa nggak, bikin aku tenang?! Kepalaku pusing! Ini malah ribut!" bentak papanya Dila. Matanya seperti hendak keluar karena melotot pada mereka.


"Ini, nih, si Dila. Bikin sebel aja. Orang lagi nggak enak badan, malah muntah. Huh!"


"Tapi, kan, kamu Mamanya! Urus, lah! Ibu macam apa kamu!"


"Pa, maksudnya apa? Aku ngurusin sendirian, gitu? Jadi, apa fungsinya Papa sebagai kepala rumah tangga, ha?! Hanya mencari nafkah? Aku pun bisa kalau hanya gitu. Hah!"


"Kamu melawan? Sedikit pun nggak ngehargai aku? Dengar, ya, Ma. Aku ini laki-laki, nggak perlu seribet Mama. Paham?"


"Apa bedanya laki-laki sama perempuan? Kalau memang Papa bertanggung jawab, kerjakan, lah. Jangan cuma merintah aja," ungkap istrinya.


"Astaghfirullah, pantesan saja Nida bertingkah aneh. Orang mamanya kurang ajar sama suami. Nyesel aku nikah sama kamu, iya," celanya.


"Jadi, semua perkelahian kita berawal dari Nida, kan? Dan aku tidak pernah menginginkan Nida lahir dari rahimku. Terus Papa nyesel menikahi aku? Papa mau kita pisah? Gimana dengan keadaan Kevin dan Dila nantinya? Apa Papa mau mengorbankan masa depan mereka hanya karena masalah ini?"


"Udahlah, Papa pusing mikirin ini. Nggak di rumah, nggak kerjaan, sama-sama nggak ada beresnya. Bikin setres!"


Lelaki itu mulai terpancing emosi. Selama kepergian Nida, kerap sekali pertengkaran terjadi di antara mereka. Terlebih masalah anak dan urusan sekolah, masih saja tidak selesai. Ketenangan yang diharapkan sangat bertolak belakang. Nida benar-benar meninggalkan jejak keanehan. Pergi saja keluarganya tidak ada ketenangan.


"Mending pergi saja dari sini. Capek ngadepin kamu, Ma."

Lihat selengkapnya