Sore menjelang magrib, Nida belum juga sampai ke rumah. Kegelisahan Herdy dan Finde sudah tidak bisa lagi diungkapkan. Terlebih karena Nida tidak pernah bermain dengan tetangga. Komplek perumahan mereka juga jarang sekali anak-anak berkumpul.
Duduk di depan televisi tidak merubah apa pun. Mata menuju layar kaca, tapi pikiran tetap fokus pada Nida. Rumah serasa hening sekali. Memang, sebelum ada Nida, rumah juga sepi. Sekarang melebihi karena kehadiran Nida pernah ada.
Suara pintu diketuk, bi Nani membuka pintu dengan tergesa-gesa karena berharap itu adalah bocah yang mereka tunggu. Pemilik rumah juga beranjak ke depan untuk memastikan siapa yang datang.
"Nida? Kamu darimana?" tanya bi Nani dengan cemas.
"Alhamdulillah. Nida udah balik," timpal Herdy.
Belum sempat menyahut sambutan itu, Nida jatuh lemas. Wajahnya pucat, warna baju lusuh, pun dengan kulitnya terlihat gelap. Dengan hati-hati, Nida digendong oleh Herdy, dibantu asistennya agar cepat sampai ke sofa depan televisi.
Herdy baru ingat, saat berada di klinik bersama istrinya, dia melihat anak perempuan yang mirip dengan Nida. Ternyata benar apa yang dilihatnya. Baju Nida sesuai dengan anak tadi siang. Herannya, kenapa Nida baru sampai? Bukankah rumah ini tidak jauh dari klinik? Bahkan jalannya juga mudah dihapal. Pertanyaan yang tercipta dalam pikirannya, diabaikan demi mengurus Nida dan Finde.
Bi Nani membersihkan tubuh Nida. Sementara Herdy ke kamar mengurusi Finde yang terdengar mengeluh karena lagi-lagi muntah. Setelah istrinya rebahan, dia kembali menemui Nida dengan membawa minyak kayu putih. Untuk kepulangan Nida, masih dirahasiakan oleh Herdy. Bila nanti wanita tengah hamil itu tahu kondisi si bocah, dikhawatirkan akan kembali melemah. Finde paling tidak bisa mendengar orang seperti Nida. Apalagi saat ini dia merasa kalau anak itu adalah miliknya.
Dalam waktu sepuluh menit, Nida ciuman juga. Bi Nani yang juga menyayanginya merasakan pilu melihat kondisi Nida. Bocah yang sudah bisa membuka matanya, memberikan senyuman pada Herdy.
"Gimana dengan kabarmu, Nak?" tanya Herdy, penuh perhatian.
"A-aku pusing, Pak. Aku laper," ucapnya lirih. Tangan kanan menggaruk lengan kiri. Tampak tulang pergelangan tangan kurus sekali.
"Eh, kamu belum makan, ya? Bentar, Bibi ambilin, ya," tawarnya.
Hanya dengan anggukan yang bisa menjawabnya. Bi Nani beranjak ke dapur.
Suara Finde terdengar lagi. Herdy bingung, mana yang akan dia perhatikan. Antara Finde dan Nida. Keduanya sangat berarti baginya saat ini. Bila memerhatikan Finde, bagaimana dengan kondisi Nida yang jauh dari orang tua. Begitu pula sebaliknya, Finde kini tengah hamil setelah sekian tahun ditunggu. Bahkan, sejak kedatangan Nida, kesempurnaan itu mulai tercipta.