MELAYANG

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #18

Mimpi


"Ibu? Kok, bisa tau kalau Nida ada di sini?" Bu Nababan membuka pembicaraan.


"Nggak usah nanya kenapa saya tau kejadian di sekolah. Sinyal saya kuat. Jadi, nggak perlu menyembunyikan sesuatu di belakang saya," ketus mamanya Nida.


Melihat wanita itu muncul dengan nada suara tinggi hingga volume akhir, Nida langsung sembunyi ke belakang badan Finde, sembari menarik pinggir baju menutupi wajah. Bocah perempuan berusia tujuh tahun itu ketakutan seperti melihat hantu. Padahal selama ini dia tidak pernah takut dengan makhluk halus yang sering dilihatnya. Meskipun wajah mereka seram dan bersimbah darah.


Nida juga sering bermain ditemeni kakek-kakek yang selalu mendampingi. Dengan bersembunyi di balik lemari dan di bawah kolong meja, selalu bercerita tentang apa saja menggunakan boneka atau benda lainnya.


Tidak jarang Nida menangis karena dijahili oleh makhluk halus berusia remaja dengan mencubit, meledek, dan sebagainya. Namun, kali ini benar-benar melihat monster berwajah manusia. Baginya lebih menyeramkan daripada lainnya.


"Nida! Awas kamu, ya," teriak mamanya lagi, lalu mendekat. Tidak sedikit pun memiliki rasa malu dari dalam dirinya sebagai seorang tenaga pendidik.


"Bu, bisa pelan nggak, sih, kalau manggil anak," tegur Finde. Hatinya berkecamuk.


"Hei ... Anda siapa? Apa kita saling kenal? Saudara? Atau ... jangan-jangan Anda yang nyulik Nida. Iya!" tuduhnya.


"Astaghfirullah, Bu. Kok, Anda sekasar itu? Apa Anda--"


"Nggak usah banyak bicara! Sini anak saya, sini!" pintanya, sembari memelototi Nida.


"Ibu bicara ke saya. Kenapa matanya ke Nida? Pantas saja Nida nggak mau pulang. Ternyata benar dugaan saya selama ini," kata Finde.


"Bu, saya harap untuk menghargai tempat ini. Ini klinik, tempat orang berobat. Kalau pasar, silakan saja." Dokter menasihati, agar mamanya Nida memperbaiki cara dan nada bicaranya.


"Hallaaaah, sok lembut. Walaupun Anda seorang dokter, tapi sama aja dimataku. Cih!" Mamanya meludah kosong untuk menunjukkan kebenciannya.


"Ya, udah. Saya pamit pulang, ya, Pak, Bu. Biar Revhan istirahat dulu di rumah. Saya juga mau lanjut kerja. Permisi," pamit dokter, lalu pergi meninggalkan ruangan yang sesak dengan suasana panas dan kesal.


Semua mengangguk kecuali mamanya Nida. Dia malah mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat hati seseorang terluka karena malu. Namun, dokter tersebut hanya menganggap angin lalu, demi menjaga privasi dan harga diri. Terlebih dia merasa dirinya adalah seorang berpendidikan.


"Aku nggak mau pulang, Bu. Aku mau sama Ibu aja," ucap Nida, dengan suara tersedu-sedu.


Finde diam tanpa menanggapi. Bukan tidak mau menjawab ucapan bocah yang tengah ketakutan itu, tapi agar tidak menambah kacau situasi. Kepala sekolah juga masih menyimak. Sebagai orang dewasa, meski bisa menyikapi hal seperti ini. Biasanya, bila ada orang yang sedang dikuasai emosi, maka harus dijaga segala sesuatunya. Bukan berarti menyerah, begitulah agar hati tidak terlalu terbawa arus. Siapa yang tidak marah bila menghadapi kondisi begini. Itu hal wajar. Hanya saja memendamnya lebih baik.

Lihat selengkapnya