MELAYANG

Sri Wahyuni Nababan
Chapter #20

Kembalinya Nida


Kepala sekolah dan bu Nababan terus berusaha bersikap sabar menghadapi persoalan yang dihadapi. Belum pernah sekolah mengalami hal demikian. Biasanya bisa dituntaskan oleh guru saja. Ini sangat berbeda sekali.


"Ma! Bisa nggak, sih, ngomong yang sopan. Ini sekolah, bukan pasar," tegur papanya Nida.


"Lah, kok, Papa malah nyalahin mama, sih? Kan--"


"Huss!" Suaminya memelototi dengan tajam dan mulut dikuncupkan.


Kepala sekolah, bu Nababan, Finde, dan Herdy menghela napas panjang karena kesal dengan sikap wanita yang tidak mau mengalah. Suasana makin panas. Padahal hari ini adalah hari di mana Nida akan pulang ke rumah. Melihat kondisi hati dan jiwa mamanya Nida, Finde dan Herdy ragu untuk menyerahkan bocah perempuan indigo itu.


"Mmmm, gimana dengan Nida, Pak? Apa sudah dibicarakan?" Kepala sekolah mengalihkan pembicaraan.


"Alhamdulillah. Nida mau, Pak. Awalnya sulit diajak bicara, tapi dengan beribu rayuan, akhirnya dia mau juga. Kami berusaha menenangkannya. Maaf, waktu istri saya bilang mau di antar pulang ke rumah mamanya, dia menangis sejadinya. Maaf sekali lagi, Pak, Bu. Bukan mau memanas-manasi, tapi inilah kebenarannya. Nida itu sudah terlalu tertekan di rumah. Bisa jadi karena sikap yang selalu diterimanya."


Papanya Nida tertunduk malu pada adiknya, Herdy. Pria itu tidak menyangka, ternyata adiknya memiliki hati dan pemikiran yang bisa menyadarkan dirinya. Dulu sewaktu masih beranjak remaja, dia sangat membencinya. Wajar memang, karena ayahnya menikah dengan mamanya Herdy dengan alasan mantan kekasih yang sangat dicintai. Pun dengan wanita itu. Masih menyimpan perasaan yang sama dengan menolak cinta dari laki-laki lain yang bersedia menikahinya.


"Mas, mau merubah tindakan pada Nida?" tanya Herdy. Lamunan papanya Nida hilang seketika.


"Maafkan Mas, Her. Ini salah Mas. Insyaa Allah, semua akan ditebus dengan menyayangi Nida tanpa pernah lagi menyakiti. Maafkan, Dik." Pria itu menangis. Hatinya tergerak untuk memastikan kalau dirinya telah salah selama ini.


"Mas, jangan pernah minta maaf sama saya. Kita nggak pernah punya masalah. Minta maaflah sama Nida. Dia anak kalian. Buah cinta kalian berdua. Ingat, Mas."


Pria itu terus meneteskan air matanya. Kesalahan yang dulu benar-benar membuat dirinya menyesal. Sayangnya, istrinya masih dengan emosional yang tinggi. Sulit bila berbicara di depan orang. Mungkin harus bicara sepihak oleh suaminya sendiri agar luluh.


"Tapi ... Mas ragu kalau Nida mau pulang dengan ikhlas. Sebab, mungkin dia trauma dengan kejadian selama ini. Ah, entahlah. Mungkin kamu tau perasanku saat ini."


"Mmmm, begini saja, Mas. Gimana kalau aku dan Finde ikut ke rumah ngantar Nida. Kali aja bisa mencairkan suasana hati Nida. Ya, terserah Mas, sih. Itu cuma saran saja."


"Maaf, bapak-bapak. Saya potong sebentar. Sebenarnya masalah ini tidak ada hubungannya dengan sekolah. Ya, karena Nida adalah murid kami dan ini permasalahan serius antara keluarga. Jadi saya pikir, tak apalah. Lantaran kejadian kemarin, kita jadi membahas semuanya di sini. Alhamdulillah. Bu dokter mau memaafkan dan menanggung sendiri biaya pengobatan Revhan." Kepala sekolah memberi kata-kata isi hatinya.


"Ya, Pak. Maaf kalau sudah merepotkan pihak sekolah. Terutama untuk Bapak dan Bu Nababan. Sudah terlalu banyak membantu menyelesaikan masalah ini. Ya, udah. Kami pamit, Nida kami bawa pulang," ucap Herdy, dengan penuh wibawa. "Bagi saya insiden ini ada hikmahnya. Karena saya bisa bertemu lagi dengan saudara kandung. Ini anugerah. Permisi, Pak, Bu."

Lihat selengkapnya