Suara tawa enam orang mahasiswa tingkat akhir yang menempati tempat duduk di sudut kafe menggelegar membuat pengunjung lainnya menoleh penasaran.
“Ampun itu suara ya Jim!” Sinta memukul lengan Jimi yang duduk di sebelahnya.
“Lagian lawakan lo garing banget sih Nu!” Jimi melempar tisu pada Benu yang telah membuat dirinya lepas kontrol saat tertawa tadi.
“Kalo garing lo gak kan ngakak gitu, nyet!” sergah Benu nggak terima melempar balik tisu pada Jimi tapi malah menyasar pada Nando yang sedang mengetik pada laptopnya.
“Udahan guys, kita seriusan bentar deh. Ini makalah udah pada nyampe mana progresnya?” Nando sebagai orang yang paling serius diantara mereka, tidak terpengaruh candaan yang dilakukan teman-temannya, balik membuang tisu yang dilempar Benu ke dalam piring bekas makan temannya itu.
“Bagian gue sama Ferdy udah beres, nih lo buka aja.” Rena menyerahkan flashdisk pada Nando. Ketua grup belajar itu segera memeriksa isinya.
“Fer, itu kentang goreng dianggurin aja, nanti lumutan!” Tangan Benu menyergap tiga potong kentang di piring Ferdy.
“Kebiasaan Benu! Lihat tuh pipi offside!” Sinta memelotot.
“Biarin aja Sin, jadi kadar kegantengan gue gak akan ada yang nyaingin,” kata Ferdy dengan tampang dingin.
“Masih merasa paling ganteng, Om?” tanya Rena mendelik. Ferdy hanya tersenyum miring mengambil sepotong kentang goreng dan memakannya dengan penuh gaya.
“Udah expired Fer, itu kan berlaku pas ospek doang, hasil pilihan maba pula. Mereka milih lo karena takut lo kasih hukuman,” cerocos Jimi sambil ikut melirik laptop, memeriksa hasil tugas teman-temannya.
“Terima aja Jim, lo ganteng cuma buat Sinta seorang,” seloroh Nando membuat Sinta malu dan menyodok pinggang Jimi. Lagi-lagi tawa bergemuruh, namun tidah seheboh tadi.
“Ciiiiiitttttt!! Dhuuaggh!!” Terdengar dua buah mobil bertabrakan cukup keras di jalan depan kafe. Keenam mahasiswa itu spontan menoleh dan membelalak kaget, terutama Ferdy.
***
“Ferdy ... Fer ... kamu udah bangun, Nak?” Suara mamanya terdengar berulang kali di telinga Ferdy. Perlahan ia membuka mata dan berkedip beberapa kali, menormalkan penglihatannya yang terasa buram.
“Ferdy! Syukurlah kamu sadar.” Kali ini papanya yang bicara dengan lega.
“Ma, Pa ... mobil nabrak ... Chika mana?” tanya Ferdy terbata, berusaha bangun di tengah kepala yang berdenyut sakit.
“Tenang dulu Fer, kamu jangan banyak gerak dulu.” Papanya mencoba menahan Ferdy yang akan turun dari tempat tidur.
“Chika dimana? Gimana kondisinya?” Ferdy mulai merasa panik.
“Lihat kondisi kamu sendiri Fer.” Papanya menahan pundak Ferdy. Cowok itu baru sadar saat melihat kaki kiri dan tangan kanannya yang digips. Belum lagi beberapa luka pada pelipis, dan memar di punggungnya.
“Ferdy masih kuat Pa. Ferdy mau lihat Chika, dia di kamar mana?” Tangan Ferdy menepis cekalan papanya dan tersaruk-saruk berdiri menghampiri pintu.
“Tunggu Fer, Mama antar.” Dengan penuh kasih sayang, mamanya memapah Ferdy keluar kamar menuju kamar sebelah. Terdengar isak tangis yang memilukan dari dalam kamar.