Hampir dua jam Nando dan Benu duduk gelisah di depan sebuah ruangan besar dengan pintu yang tertutup rapat. Muka yang mereka kenal belum menampakkan dirinya dari tadi sementara di dua ruang lain yang terpisah, beberapa orang sudah keluar dengan beragam ekspresi. Mulai dari merengut, berkaca-kaca, hingga teriak gembira. Kedua pria itu saling pandang dan senggol. Kadang Benu berdiri berjinjit mencoba mencari celah diantara jendela yang tertutup rapat mencari tahu apa yang sedang terjadi di balik ruangan itu.
Pintu ruang sidang akhirnya membuka. Seraut wajah tegang dan lelah memakai kemeja putih, jas almamater, dan rok panjang hitam keluar perlahan. Benu dan Nando segera menghambur mendekat dan menarik-narik tangan gadis yang terlihat setengah tidak sadar itu.
"Ren, Ren ... gimana? Lo lulus kan?" Benu mengguncang lengan Rena yang menatapnya dengan pandangan kosong.
"Dosennya killer gak? Nyusahin lo gak? Lo bisa jawab kan?" Nando menghunjamnya dengan pertanyaan khas saat seseorang baru selesai sidang skripsi. Rena menatap dua sahabatnya bergantian dan menyerahkan selembar kertas yang sedari tadi digenggamnya kuat.
Nando menyambarnya dan membaca tulisan yang tertera berulang kali. Benu yang sama penasaran merebut kertas itu dan membelalak tak percaya.
"Renaaa! Seriusan lo? Cum Laude?? Horeee!!!" teriak Benu meloncat kegirangan.
"Yeeaayyy ... you did it girl!" Nando memeluk gadis yang langsung berurai air mata itu. Ketiga sahabat itu saling rangkul dan tertawa bahagia merayakan keberhasilan satu-satunya sahabat cewek mereka. Di tengah kebahagiaan itu, Nando menangkap sosok yang tak asing menatap mereka dari kejauhan sambil berdiri bersandar di sebuah pohon flamboyan di taman kampus sambil mengisap rokok.
Nando spontan melambai dan memberi isyarat agar sosok itu mendekat, tetapi tidak sesuai dugaan, sosok itu berbalik dan pergi menjauh dari taman.
"Kenapa Nan? Kok muka lo kayak lihat setan?" tanya Benu heran.
"Kayaknya memang ada setan lewat tadi. Okeee, jadi kita makan-makan dimana Ren sekarang?" Nando mengalihkan topik dan menggiring kedua sahabatnya ke arah kantin.
"Ren, seriusan lo mau merantau ke Jakarta?" tanya Benu diantara suapan pempek lenggangnya.
"Iyalah, kuliah udah kelar dan kesempatan dapat kerja lebih luas di metropolitan, ya kan?" angguk Rena memotong baso tenis isi cincangnya kecil-kecil dan menuangkan tiga sendok penuh sambal.
"Damn, kita pisah juga." Nando mengacak poni Rena gemas.
"Terus ... lo gak akan bilang ke Ferdy?" lanjut Nando sambil mencocol bumbu kacang ke potongan siomay.
"Bilang apaan?" Rena mendelik sinis mendengar nama mantan sahabatnya disebut.
"Ya tentang lo cabut dari sini lah, memang sampai kapan mau perang dingin kayak gini?" Nando menatap serius gadis yang sudah seperti adiknya itu.
"Semua sudah berakhir. Lebih baik seperti ini." Tegas Rena membuat Nando dan Benu berpandangan dan saling angkat bahu.
***
Ferdy mondar-mandir di dekat motornya. Hatinya gelisah karena sudah seminggu ini ia dihantui mimpi buruk tentang Rena, dimana di dalam mimpi itu sahabatnya terlihat berlari menjauh tiap kali ia panggil dan di mimpi terakhir hanya terlihat Rena yang tersenyum lalu imajinya memudar dan hilang. Ferdy memutuskan menelepon Nando.