Jam enam sore Qiren baru kembali ke kantor setelah seharian mengunjungi dua nasabah. Tempat pertama di daerah BSD, yang kedua janjian di mall Kelapa Gading. Serasa perjalanan Jakarta-Bandung tiga kali balikan. Perut Qiren terasa mual karena tadi hanya sempat menyantap tiga suap nasi sop buntut. Bagaimana mau makan dengan tenang, sementara nasabahnya begitu berapi minta penjelasan mengenai penjualan dollar dengan sistem forward. Akan lebih baik jika ia mengerti dengan sekali dua kali penjelasan, berhubung sudah berumur, Qiren harus menggunakan bermacam analogi dalam presentasinya agar mudah dimengerti oleh si calon nasabah. Untungnya akhirnya mereka bisa mendapatkan satu deal dengan nominal cukup besar.
Makan siang Qiren pun berantakan. Belum lagi ditambah perjalanan pergi dan pulang yang selalu dibumbui kemacetan berjam-jam. Efeknya baru terasa begitu ia duduk di ruangannya. Kepala rasanya berat, nyut-nyutan dan perutnya bergolak.
"Mbak, semua laporan udah beres ya, transaksi hari ini lumayan cuan." Yuni melongokkan kepalanya ke ruangan Qiren.
"Ok, udah di email kan datanya? Lo pulang aja Yun, udah sore."
"Siap Mbak, gue duluan ya."
"Mbak tadi ada email dari pusat, zoomnya dicancel, Pak bos ada tamu dari Malaysia."
"Ok, berarti gak ada pendingan hari ini ya, cabut aja Wo."
"Mbak gak pulang?"
"Mau, bentar lagi."
"Ok, cu tom!"
Pintu ruang Treasury menutup. Qiren merasa makin tidak karuan. Asam lambungnya naik dan mendesak untuk keluar dari kerongkongan. Cepat diambilnya tempat sampah di bawah kakinya. Dengan satu kali sentakan dari perutnya, sisa sop buntut tiga suap dan tiga gelas air mineral meluncur dengan cepat ke dalam tempat sampah.
"Mbak! Waduh, kenapa kok muntah?" Sebuah suara panik terdengar di belakangnya dan sebuah tangan langsung mengurut lehernya agar Qiren mengeluarkan lagi sisa muntahannya. Qiren terkesiap dan dengan cepat menyentakkan tangan yang menyentuh lehernya itu. Qiren menengadah dan matanya menyorot tak suka.
"Ngapain lo? Keluar dari sini!" perintahnya galak. Ferdy kaget dan mengangkat kedua tangannya menjauh.
"Sorry Mbak!" Anak baru itu keluar dari ruangan Qiren. Manajer Treasury itu menelungkupkan kembali kepalanya dan menghabiskan jatah muntahnya hingga perutnya lega. Diikatnya kantong plastik sampah dan ia duduk bersandar di kursinya yang lumayan empuk. Qiren mengeluarkan sebotol minyak angin dan mengoleskan pada perut dan pelipisnya, lalu mengendus wangi khas minyak angin yang membuat kepalanya terasa ringan.
Pintu ruangan kembali membuka dan Ferdy masuk dengan segelas teh manis panas.
"Minum Mbak, udah gitu pulang. Sepertinya Mbak masuk angin setelah seharian beredar."
"Aduh, lo masih disini? Pulang gih!"
"Ayo Mbak, bareng ke bawahnya."
"Apaan sih, gue cuma masuk angin. Gue bisa turun sendiri. Sana deh!" Kepalanya berdenyut lagi. Ia benar-benar tidak ingin sosok anak baru itu ada di dekatnya. Sakitnya jadi bercampur gugup dan panik.
"Ok Mbak!" jawab Ferdy dengan senyum dan memohon diri.