Melepas Bayangan

Nurul Fitria
Chapter #13

#13

"Welcome to the black yard oh, let's take it my way, burn down the power, we could be on set hour ..." Lagu ost. Vagabond, Open Fire terus berdering tanda alarm belum dimatikan oleh sang empunya ponsel.

Ferdy bergeliat merentangkan tangan dan kakinya yang menekuk dengan pose kurang nyaman dari jam tiga pagi. Tangannya menggapai-gapai bawah bantal, bawah punggung, dan akhirnya kakinya yang sibuk meraba keberadaan ponselnya yang juga tidak terdeteksi di penjuru tempat tidur. Alarmnya masih memainkan musik rock Open Fire untuk yang kelima kalinya. Mata Ferdy terpaksa membuka. Dengan gerakan malas ia menjulurkan kepalanya ke tepi tempat tidur dan melihat benda kecil berkelap-kelip dengan musik tak kunjung henti. Entah bagaimana ponselnya bisa terlempar hingga pintu kamar mandi.

Ferdy menggeleng dan mengucek matanya lalu beranjak menuju kamar mandi. Diambilnya ponsel yang berisik itu, lalu dimatikan alarmnya disertai omelan pagi. Sambil membuka pintu kamar mandi, mata dan jarinya sibuk menelusuri ponsel, membuka semua aplikasi mencari notifikasi terbaru pagi itu. Gerakannya seketika terhenti, matanya membelalak dan dengan cepat ditutupnya kembali pintu kamar mandi. Lutut Ferdy mendadak lemas dan ia hanya duduk selonjor di lantai sambil membuka whatssapp. Ada pesan masuk dari Qiren, satu jam yang lalu.

"Taman Menteng Bintaro, 8 a.m." Mulut Ferdy menganga dan langsung melihat sudut kanan atas ponselnya, pukul 07.45. Tinggal lima belas menit menuju pukul delapan dan jarak yang harus ditempuh menuju taman itu dari kosannya adalah tiga puluh menit. Ferdy langsung bangun blingsatan, masuk kamar mandi, mencelupkan wajahnya ke bak mandi, gosok gigi, mengambil kaos yang tergantung di belakang pintu, menyemprotkan deodorant ke seluruh tubuhnya, menyambar kunci motor di meja dan melesat meninggalkan kosan.

Sepanjang perjalanan, hanya satu kalimat yang terus diulangnya, "Tolong tunggu, Ren!" 

Sabtu pagi yang cukup lengang membuat Ferdy memacu motornya secepat yang ia bisa tanpa takut terhalang macet. Tetap saja, ia tiba terlambat lima belas menit dari waktu yang diminta Qiren.

Kalang kabut Ferdy memarkirkan motornya dan mulai berlari memutari taman, mencari keberadaan Manajer Treasury yang galak dan judes yang telah membuatnya kelimpungan seperti ini. Dua kali putaran dan sosok Qiren bagai debu tertiup angin, hilang begitu saja. Napas Ferdy tersengal. Ia berjongkok di trotoar dan mengambil ponselnya, menelepon Qiren untuk yang kelima kalinya karena dari tadi ia telepon sambil berlari tapi tak juga diangkat.

Nada sambung berubah menjadi pemberitahuan pengalihan ke kotak suara. Ferdy menekan tombol mengakhiri panggilan dengan sekuat tenaga. Terlihat jelas raut kesal di wajah tampannya berpadu bulir keringat yang menuruni dahinya.

"You need this!" Sebotol air mineral dingin terpampang di depan wajahnya bersamaan dengan suara yang sehari-hari didengarnya di ruang treasury. Ferdy menengadah dan mendapati Qiren dengan wajah datar mengulurkan tangan yang memegang botol air mineral.

"Mbak, kamu ... lo ... Qiren ... Rena, aaarrghhh ... shit!" Mulutnya belepotan bingung memanggil nama yang tepat untuk wanita di depannya itu. Qiren masih menanti Ferdy mengambil botol dengan tanpa ekspresi. Ferdy berdiri dan menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, salah tingkah ia mengambil botol dan tersenyum kikuk.

"Lo ada dimana sih? Gue putarin ini taman gak ketemu juga."

"Habis dari minimarket," jawab Qiren singkat.

"Kenapa gak jawab telepon?"

"Gak dibawa, ada di kosan." Masih dengan raut datar, Qiren menjawab sambil berjalan.

Lihat selengkapnya