Melepas Bayangan

Nurul Fitria
Chapter #22

#22

Semenjak memutuskan keluar dari bank demi menghindar dari Qiren dan demi menjaga kewarasannya, Ferdy banting setir membuka usaha periklanan dengan beberapa orang temannya di Bandung. Usaha yang dirintisnya itu ternyata disambut cukup baik oleh khalayak dan kini beberapa perusahaan besar banyak yang menggunakan jasanya untuk mempromosikan produk perusahaannya hingga berimbas pada tingkat popularitas dan kepercayaan yang cukup tinggi pada usaha rintisannya itu.

Berhubung minggu ini belum ada proyek besar, Ferdy telah membuat janji untuk menyambangi tempat yang pernah disarankan Benu tahun lalu dan ia rutin datang ke sana untuk membenahi mentalnya.

Empat jam berlalu, Ferdy keluar dari klinik psikiater yang telah dikunjunginya di Bandung selama setahun terakhir ini, dengan langkah ringan dan senyum mengembang karena dokter telah menyatakan bahwa ia sembuh dari keterikatannya terhadap almarhumah kekasihnya. Sekarang hal penting yang harus dilakukannya adalah mengunjungi makam Chika.

Langkahnya sempat terhenti beberapa meter sebelum mencapai tujuan. Peluh mulai memenuhi tepi pelipisnya dan degup jantungnya meningkat dua kali lipat dari normal tanda ia sedang gugup. Ini kali pertama ia datang ke makam Chika semenjak ia bekerja di Jakarta.

Memberanikan diri, Ferdy meneruskan langkahnya dan tiba di depan nisan bertuliskan Mariska Felicya. Dadanya menjadi sesak dan air matanya keluar tanpa dikomando. Tubuh tinggi Ferdy ambruk dan buket bunga mawar kuning yang digenggamnya terlepas jatuh di sampingnya. Isaknya terdengar semakin keras, bahunya berguncang naik turun dan tangan kanannya yang gemetar mengusap batu nisan kelabu yang berdiri kokoh di hadapannya dengan hati-hati.

"Chika ... maafkan aku ... kamu nggak seharusnya terbaring disini. Ini semua salahku. Maafkan aku, aku masih berharap ini semua halusinasi. Salahkah aku yang masih merindukanmu? Bolehkah aku mencintai wanita lain selain dirimu? Walau dokter bilang aku udah sembuh, aku masih bingung Chika, aku nggak berani mendekati wanita lain karena takut teringat dirimu. Bantu aku Chika ... Ya Tuhan kumohon ... aku harus bagaimana?" batin Ferdy mencoba berkomunikasi dengan almarhumah kekasihnya, mencari jawaban atas semua kegalauannya.

Hampir tiga puluh menit berlalu Ferdy duduk dalam keheningan di samping nisan Chika. Air matanya telah mengering dan matanya sudah cukup sembab.

"Semoga kamu menemukan jalan menuju surga ya Chika. Baik-baik ya kamu disana. Aku pergi dulu. Bye sayang ..." Ferdy tersenyum sendu dan bangkit dari duduknya ketika langit biru cerah mulai berubah menjadi lembayung dan bersiap digantikan oleh rembulan yang sudah mengintip di ufuk barat.

Ferdy tiba di rumah saat bulan sudah meninggi dan kedua orang tuanya sudah terlelap. Tubuhnya penat setelah mengukur jalan dengan sepeda motor honda klasik milik ayahnya mengitari tiap sudut kota Bandung, menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Mengambil sebotol air dingin dari lemari es, ia membawanya ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Meneguk langsung air dari botolnya, kerongkongannya yang kering setelah ia menghabiskan satu pak rokok terasa lebih lembab. Tanpa repot mengganti bajunya yang lengket dengan keringat, Ferdy naik ke atas tempat tidur dan langsung tertidur.

"Ferdy ... Ferdy sayang ... Ferdy ..." Suara lirih yang manja itu menyapa telinga Ferdy. Ia menggeliat dan membuka matanya perlahan.

"Ferdy ... sini ..." Suara itu terdengar lagi dari tempat yang jauh. Ferdy kontan mengerjap dan membelalak, kemudian terduduk melihat sekeliling. Ini bukan kamarnya. Cahaya jingga temaram menerangi tempat itu. Kabut tipis menyelimuti tempat itu membuat suasana terasa mencekam. Ferdy buru-buru bangun dan memasang kuda-kuda, waspada terhadap segala kemungkinan. Tidak ada apapun selain suara memanggil namanya yang terus berulang.

Ferdy menajamkan telinganya dan mulutnya menganga menyadari itu suara yang lama tak didengarnya.

"Chika?? Itu suara Chika? Dimana dia?" Ferdy berjalan cepat mencari sumber suara. Semakin ia jauh berjalan semakin terang tempat yang berada di depannya. Cahaya temaram itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan. Ferdy mengerjap beberapa kali menyesuaikan penglihatannya. Tempat terang dan tertutup kabut tebal itu kini mulai terlihat jelas.

Lihat selengkapnya