Benu mengetukkan jemarinya ke meja sofa di kantor Ferdy berulang kali dengan bertopang dagu dan mata menatap tajam pria yang sedang menunduk di hadapannya.
"Lo sadar kan Fer?"
"Ya, sangat!"
"Lo ingat kejadian di Bali dulu gak sih? Lo yakin perasaan lo bukan pelarian? Bukan karena merasa bersalah? Lo gak menyamakan Rena dengan orang lain lagi kan?"
"Waktu itu kan gue khilaf Ben, dan gue sangat menyesali tindakan bego itu yang bikin Rena menjauh dari gue."
"Lo baru putus sama tunangan lo yang udah berjalan tiga tahun dan hubungan kalian berakhir baru beberapa bulan. Lo yakin mau ngejar Rena kali ini? Ini Rena lho! Cewek pendek, gemuk, wajah jerawatan, rambut selalu dikucir kuda. Lo benaran suka sama cewek kayak begitu? Jauh banget dibanding si Hye Jin itu."
"Hei ... kenapa lo ngungkit fisik dan masa lalu dia?"
"Karena orang itu adalah Rena yang sebenarnya. Rena yang menjelma menjadi Qiren hanyalah topeng."
"Rena yang sebenarnya adalah cewek pintar, cerdas, ceria, manis, menarik, dan tangguh. Gue yang bodoh karena selama ini gak melihat segala kelebihannya. Penampilannya sebagai Qiren hanyalah bonus."
"Seorang Ferdy gak mungkin seperti ini. Apa lo putus sama Hye Jin gara-gara Rena?"
"Ya, dia yang menyadarkan gue tentang perasaan gue sama Rena."
"Asal lo tahu ya Fer, Rena sudah sering tersakiti dan terakhir rencana pernikahannya gagal ... ups ... lupakan kata-kataku barusan."
"Menikah? Rena hampir menikah? Apa yang terjadi??"
"Sori, bukan kapasitas gue buat jawab ini. Fer, tolong jangan terburu-buru. Qiren masih menata hatinya, apalagi lo baru aja mendapat kepercayaan untuk jadi temannya lagi kan?"
"Aah, sial! Apa yang udah gue lewatkan beberapa tahun kemarin? Apakah Rena sangat menderita?"
"Well, dia lebih berhati-hati sama cowok, bahkan cenderung menutup diri. Sepulang dari Korea dia sempat drop dan berat badannya turun drastis. Hanya Cheryl yang dia percaya sebagai tempat curhatnya. Untungnya Rena mau diajak ke gereja tiap minggu. Mendengar khotbah pendeta membuatnya percaya diri lagi dan akhirnya dia bisa bangkit membuka hidup barunya dengan usaha kafenya itu. Gue sama Cheryl sayang sama Rena dan nggak rela dia terpuruk lagi. Lo ngerti kan Fer?"
Sepeninggal Benu, Ferdy merenung di ruangannya. Untung saja tidak ada pekerjaan yang menuntut perhatian khususnya hari itu. Dipandanginya foto di tangannya. Foto grup Treasury waktu outing di Bali. Dirinya berdiri bersebelahan dengan Qiren dengan pose tertawa lebar, sesaat sebelum kejadian di pinggir pantai malam harinya. Tawa Qiren sangat lepas dan begitu cantik. Tanpa disuruh, pipi Ferdy memanas dan darah yang memompa jantungnya mengalir lebih cepat membuat degup itu makin tidak karuan.
Imaji Qiren saat bertemu di acara Benu berkelebat di benaknya. Rambut panjangnya yang diikat begitu saja ke samping, riasan natural yang semakin memancarkan pesona wajah mungilnya, gaun jingga selutut yang membungkus tubuh rampingnya, dan sepatu kets yang dipakainya masih terekam dengan jelas, menaikkan garis bibir Ferdy.
"Mas ... Mas Ferdy!" suara Diko, asistennya, cukup mengagetkan dirinya.
"Cie, cie ... ada yang lagi berbunga nih! Mas, ayo kita harus pergi sekarang ke lokasi iklan aplikasi belajar itu lho, diundang langsung sama pemilik aplikasinya buat cek prosesnya."