"Jaga diri kamu ya Rena, bye!" Pram memeluk kekasihnya untuk yang terakhir kali dengan erat. Qiren menangis dengan pilu dan enggan melepaskan pelukan Pram. Lelaki itu mendorong pelan Qiren dan tersenyum. Mundur dua langkah, Pram berbalik dan berjalan cepat menarik kopernya menuju lift tanpa melihat kembali ke belakang.
Bahu Qiren terus berguncang dan air matanya semakin luruh tanpa bisa dihentikan. Wajah Pram yang tampan akhirnya terhalang pintu lift yang menutup. Lelaki itu benar-benar meninggalkannya di tengah malam seperti ini.
Setelah menutup pintu apartemennya, perutnya terasa mual dan matanya berkunang-kunang. Tergesa Qiren membuka pintu kamar mandi, membuka tutup kloset dan berusaha menumpahkan isi perutnya, tetapi yang keluar hanya cairan yang terasa pahit. Qiren menyeka keringat dingin yang membasahi dahinya. Ia berkumur dan membasuh wajahnya berkali-kali.
Keluar kamar mandi, Qiren menuju dapur, mengambil segelas air dan membuka laci dapur, mencari obat yang mengandung paracetamol untuk menghilangkan pusingnya. Berhasil menemukan obat yang tersisa dua butir, Qiren membuka salah satunya dan langsung meminumnya.
Ia masuk kamar dan ingin segera tidur, melupakan kejadian hari ini, terutama saat Pram keluar dari rumah, keluar dari hidupnya di saat ia butuh seseorang yang ia cintai. Ini semua hanya mimpi buruk, mimpi buruk, dan besok lelaki itu pasti akan kembali ke sisinya.
***
Sudah dua hari Qiren terbaring lemas di tempat tidur. Pram sama sekali tidak muncul kembali dan perut Qiren semakin mual. Ia merasa ini bukan masuk angin biasa atau mual karena stres. Tidak mau berlarut dalam sakitnya, Qiren memutuskan untuk periksa ke dokter sebelum ia kembali ke Indonesia.
Diagnosa dokter umum yang didengarnya di dalam ruang praktek tadi benar-benar membuatnya limbung. Hamil! Qiren hamil tujuh minggu dan ia tidak merasakan gejala apapun hingga dua hari lalu. Qiren tidak tahu harus bagaimana, ia hanya duduk di kursi ruang tunggu dokter sambil memegang resep vitamin penguat kandungan yang harus ditebusnya. Perlahan ia mengelus perutnya yang masih terlihat datar.
"Gak mungkin! Kenapa gue bisa kecolongan? Selama ini Pram selalu main aman, kami udah komit menunda kehamilan hingga kami menikah tiga bulan lagi! Kenapa ini bisa kejadian?" suara hatinya mempertanyakan kenyataan yang baru saja menghantamnya.
Qiren menggeleng dan batinnya berkata lagi, "Apa ini hasil kejadian malam itu? Waktu kami berdua mabuk berat setelah menghadiri pesta kantornya? Apa dia lupa pakai pengaman? Oh, shit!! Sekarang lelaki itu pergi?? Di saat seperti ini? Rena, lo goblok!!"
Mata Qiren nanar menatap sekeliling. Tatapannya terpaku pada jadwal poli yang praktek. Dokter kandungan. Ini satu-satunya cara yang bisa dilakukannya agar ia bisa menyelamatkan dirinya, harga diri, dan kehormatan keluarganya. Tidak ada yang boleh tahu mengenai hal ini begitu ia pulang ke Indonesia nanti.
Dokter kandungan menyetujui keinginan Qiren untuk melakukan aborsi hari itu juga setelah melihat hasil USG yang menampilkan kondisi janin yang berada di perut Qiren ternyata tidak berkembang sempurna. Setelah proses aborsi selesai dan istirahat di ruang pemulihan sekitar dua jam, Qiren kembali ke apartemennya dengan wajah pucat pasi.
Tiga hari kemudian, Qiren sudah berada di bandara, siap meninggalkan Seoul. Di dalam pesawat, sudah setengah jam Qiren hanya menerawang memandangi kumpulan awan tipis yang terbentang seluas angkasa. Pipinya basah dan matanya bengkak. Kilasan peristiwa percintaannya berkelabat di benaknya. Mulai dari cinta sepihaknya dengan Ferdy, dijadikan selingkuhan oleh Harry, tragedi ciuman Ferdy, hubungan singkatnya dengan Nando, dan dihamili Pram, mantan calon suami yang tega meninggalkannya.