"Ya Tuhan!! Rena! Rena! Kenapa lo nekat begitu? Waktu itu gue masih di Seoul kan? Kenapa lo gak hubungi gue?" tanya Ferdy mengusap wajah dengan kedua tangannya, berusaha menahan emosi saat Qiren menceritakan kisahnya di mobil, masih di area parkir pemakaman.
"Gue gak butuh dikasihani, Fer!" pekik Qiren mendelik kesal.
"Bukan dikasihani, Ren, tapi dibantu."
"Dan membuat Hyen Jin tambah blingsatan? Lo lucu deh. Satu-satunya cara yang terpikir sama gue di saat kalut ya seperti itu!"
"Benu dan Cheryl tahu? Keluarga lo?"
"Gak ada satu pun." Qiren menggeleng dan matanya mulai berkaca-kaca lagi, merasa bersalah telah menyembunyikan kenyataan pahit yang ditanggungnya sendiri selama ini.
"Lalu, apa yang terjadi setelah lo ditangani dokter?"
"Rahim gue memang sembuh dari pendarahan, tapi ya itu tadi, gue gak akan bisa punya anak nantinya dan itu bikin gue tambah stres. Gue gak bisa konsentrasi sama kerjaan gue, dan gue memutuskan berhenti kerja. Hampir dua bulan pola hidup gue makin kacau dan berat gue turun drastis, sampai gue kepikiran buat mengakhiri hidup gue. Suatu hari gue lihat salah satu postingan sosmed yang membahas tentang Alkitab, surat Yesaya 41:10 (Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan, red). Gue mencoba bangkit dan akhirnya membuka usaha kafe dan perlahan hidup gue membaik."
"Terus apa hubungannya sama lo menolak lamaran gue, hidup lo sudah membaik kan, Ren?"
"Dari sisi sebagai seorang manusia yang bangkit dari keterpurukan, ya, gue membaik. Namun, dilihat dari sisi seorang wanita ingin menikah dan punya keturunan suatu saat nanti, gue ini gagal! Gue gak akan pernah bisa punya anak! Jadi, urungkan lamaran itu Ferdy, gue gak akan bisa bahagiain lo. Gue bukan wanita yang sempurna dan tepat buat lo, gue hancur dan rusak, lo berhak dapatin yang lebih baik dari gue. Tolong, jangan desak gue lagi."
***
Sepulang dari pemakaman, Ferdy mengantar Qiren ke rumah sakit, lalu ia meneruskan pulang ke Jakarta karena banyak pekerjaan yang menuntut tanggung jawabnya. Pulang lebih dulu ke Jakarta tidak lantas membuat semua permasalahan yang timbul selama di Bandung terselesaikan begitu saja.
Setengah mati Ferdy berusaha fokus melakukan pekerjaannya hari itu dan pukul 23.30 barulah ia bisa meninggalkan kantor, kembali ke apartemennya. Mandi air panas dan menyeruput secangkir teh lemon hangat membuatnya dapat mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang penat.
Meluruskan tubuhnya di tempat tidur, dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala, Ferdy mencoba untuk memejamkan matanya, tetapi kilasan obrolan dengan Qiren di pemakaman masih mengusiknya.