Beribu kisah dalam kehidupan diceritakan sangat rinci tanpa terlewatkan, skenario hebat yang Allah ciptakan untuk setiap makhluk ciptaan-Nya tidak ada yang memberatkan selain karena hamba-Nya bisa melewati bab demi bab. Ujian yang Allah berikan atas dasar menguji kesabaran dan ketaatan seorang hamba dalam menghadapi masalah apakah dia masih membutuhkan Tuhan sebagai tempat meminta atau tidak?
Akhir zaman, yang terkadang sedikit perhatian dari anak muda zaman ini. Ada yang masih belum menemukan hidayah untuk hijrah ke jalan yang benar, ada yang sedang berjuang untuk hijrah ditengah imannya yang goyah, ada yang sudah betul-betul hijrah bahkan paham akan ilmu agama tapi masih terselip kesombongan atas ilmu yang dimiliki.
Masih berusaha untuk menjadi baik tapi sulit pada kenyataannya, Humeyra Iftinah Pakeezah gadis berusia dua puluh tahun jauh berbeda dengan saudaranya yang lain. Seluruh keluarganya sangat religi, tapi tidak dengan nya. Humeyra masih belum istiqomah dalam berkerudung, meskipun bunda dan kakak perempuannya bernama Aisyah sudah mengingatkan nya untuk berkerudung, tidak Humeyra gubris.
Kata Humeyra, belum siap menutup kecantikan yang terletak pada indah rambutnya. Pernah suatu hari Humeyra dan Kak Aisyah bertengkar hebat karena pembahasan 'Istiqomah Berkerudung'. Kakak perempuan satu nya ini memang sangat agamis dan selalu memaksa keras Humeyra untuk hijrah. Tapi tidak dengan ayah bundanya, memang keduanya sudah mengingatkan namun tidak sekeras Kak Aisyah. Kakak satu-satunya yang paling galak bahkan Humeyra harus menerima mempunyai adik laki-laki galak juga.
Farid, adik laki-laki yang tidak jauh berbeda dengan Kak Aisyah, menyuruhnya terus berhijrah bahkan sampai menyeretnya untuk menghadiri pengajian masjid sampai majelis para habib. Yah, itulah Humeyra dengan sifat keras kepalanya, ia tetap menolak semua yang berbau agama. Pasti Humeyra akan berubah tapi tidak sekarang, ia ingin menikmati masa mudanya mencari pacar idamannya, sayangnya sampai sekarang tidak ada kandidat dalam listnya.
"Bunda, santri perempuan di pinggir rumah kita sudah nggak ada?" tanya Humeyra pada bunda yang sibuk memasak di dapur.
Menunggu jawaban bunda, Humeyra melongokan kepalanya dari jendela dapur yang langsung tertuju pada salah satu rumah berisikan santri-santri perempuan. Dulunya bangunan besar itu disewakan untuk kost-an putri yang berkuliah, satu dua orang dulu ada yang menempati tapi tidak lama. Sampai saat pemiliknya sudah wafat kost-an tersebut terbengkalai bahkan ada berita kabur dihuni oleh makhluk tak kasat mata. Tidak ada yang berani melewati kost-an itu karena jarang sekali lampu di luat kost-an menyala.
Dan sekarang kesan angker itu sudah tidak ada lagi semenjak kost-an dihuni oleh para santriwati untuk melanjutkan kuliah di Universitas Yaman yaitu Universitas Al-Ahgaff. Jelas saja kehadiran santriwati menjadi materi pembanding untuk dirinya saat diceramahi oleh Kak Aisyah.
"Sudah kemarin sore, kenapa emangnya? Kamu kangen karena nggak ada yang berisik ngaji, dzikir bangunin tidur kamu saat subuh?" tanya bunda lebih ditujukan menyindirnya sambil tertawa kecil.
Humeyra berdecak, "ck, nggak lah bun. Syukur deh kalau gitu biar aku nggak diceramahi lagi sama Kak Aisyah hehe," cengenges Humeyra lantas kembali mendekati jendela dapur mengamati kost-an yang kembali kosong.
Namun perhatiannya buyar kala mendengar rengekan dari adik laki-lakinya—Farid langsung memeluk bunda.
"Kenapa kamu? Nangis ditinggalin teteh santri?" celetuk Humeyra sambil berkacak pinggang diiringi rasa bangga.
"Diam kau kacung nya Fir'aun!" bentak Farid.
"Huss! Nggak boleh bicara gitu sama kakak kamu Farid, harus sopan sama yang lebih tua." ujar Bunda dengan tutur kata lembut, sedangkan Humeyra memeletkan lidah karena senang dibela bunda.
"Adek kenapa? Kok nangis anak bunda?" tanya bunda berjongkok untuk mensejajarkan tinggi anak bungsunya.
"Farid sedih kakak santri pergi ke Yaman, Farid kangen Kak Bibil suka ajak Farid main sama temen-temennya." rengek Farid lantas memeluk bunda menyembunyikan tangisnya.
"Lebay banget si!" sinis Humeyra melipat kedua tangannya di depan dada.
"Humey!" bunda memberi peringatan seraya membesarkan mata.
"Jangan sedih, nanti setelah ini ada lagi santri kok, adek bisa main lagi sama kakak santri," ucap bunda berusaha menenangkan Farid.
Sontak mendengar itu bahu Humeyra mengendur, karena pasti akan lebih banyak ceramah dari Kak Aisyah yang dilihat dari para santriwati itu, "yang bener bun?! Kapan mereka pindah nya?"
"Bunda juga belum tahu,"
"Andai aja kali ini santri laki-laki yang isi kost-an itu, biar Humey bisa cuci mata setiap pagi." Humeyra berjingkrak centil sambil membenarkan rambutnya.
"Mereka nggak suka cewek modelan kamu! Sukanya yang berhijab, bercadar, berakhlak baik, sholehah! Berhijab dulu baru bisa dapetin yang kayak gitu!" suara sinis itu terdengar bersamaan munculnya Kak Aisyah.
Humeyra memutar bola matanya malas, "bilang aja suruh aku hijrah, pake kerudung,"
"Ya memang benar, jodoh itu cerminan diri. Kalau kamu aja kayak gini nanti jodoh mu nggak berbeda jauh sifatnya kayak kamu, makanya sekarang mulai hijrah, sama kakak bimbing yuk, kali ini bakal lemah lembut kayak bunda," rayu Kak Aisyah merangkul adik keduanya.
Humeyra melirik sinis pada kakaknya lantas seperti menimang-nimang ajakkan Kak Aisyah,"apa iya?" tanya Humeyra meyakinkan.
"Nanti di kantor kakak ada acara di Masjid Istiqlal, haul nya Habib Hasan Baharun, kamu harus ikut! Nggak ada penolakan pokoknya!" tegas Kak Aisyah.
Spontan raut Humeyra sendu, memori bersama sosok pria yang pernah menghibur hari-harinya terputar cepat. Membuat rasa rindu di hatinya memuncak, rasa ingin jumpa masih terpendam dalam hatinya, apalah daya Humeyra tidak bisa mengutarakan semua keluh kesah dalam hatinya. Sejujur nya Hmeyra masih menginginkan Ali, sosok pria yang sudah mewarnai masa-masa SMA nya yang kelam. Disaat semua laki-laki menjauhi lantaran parasnya tak secantik perempuan lain, tapi Ali menunjukkan bahwa cinta tak memandang paras melainkan ketulusan hati. Jika memang Humeyra memutuskan untuk ikut, pasti ia akan berjumpa dengan Ali.