MELEPAS HARAP

Deya Nurfadilah
Chapter #5

Harap 5 : Salam Perdana

Waktu berlalu sangat cepat, matahari yang barusan menampilkan sinarnya, kini harus berpisah seiring sinar jingga perlahan menghilang. Malam sedang berperan, adzan maghrib sudah berkumandang. Rekor Humeyra dalam hidupnya bisa melaksanakan ibadah tepat waktu, dulu semasa zaman sekolah sulit sekali bagi Humeyra untuk tepat waktu menunaikan shalat, bahkan sampai ia melupakannya. Tapi diusia nya yang kian menua, genap di dua puluh tahun, ibadah adalah kebutuhan terpenting nya, rasa malas yang dulu sering hinggap, berubah menjadi semangat tiada henti.

Humeyra bersyukur usia nya yang terbilang muda, senantiasa diberi hidayah untuk bertaubat, menyesali dosa-dosa lampau yang telah Humeyra perbuat. Tidak menyangka selama ia bernafas bisa melalui semua peristiwa suka duka dalam hidup, hingga detik ini Humeyra amat sangat bersyukur bisa bertahan.

Kalau tidak diiringi iman, entah mau ke arah mana Humeyra berjalan. Mungkin sampai saat ini kerudung tidak akan melekat untuk menutup auratnya, bukan itu saja, pakaian terbuka pun mungkin sudah menjadi hal biasa baginya untuk keluar rumah.

Humeyra berjalan mendekati meja belajarnya, membuka buku tebal berisi jurnal ibadahnya. Satu per satu Humeyra menceklis hafalan surat-surat, materi ceramah yang ia dapatkan dari media sosial pun Humeyra baca kembali agar lebih faham dan diterapkan di kehidupan sehari-hari nya.

"Semoga bisa istiqomah melakukan hal-hal baik," gumam Humeyra.

Sebelum keluar kamar untuk makan malam bersama, pintu kamarnya sudah lebih dulu diketuk, setelahnya ia baru bisa melihat wajah yang muncul di balik pintu. Ayahnya berjalan mendekat lantas duduk di pinggir kasur menatap haru pada putri keduanya.

"Bagaimana bisnis kamu Mey, berjalan lancar?" Tanya Ayah memulai pembicaraan.

"Alhamdulillah lancar, cuman hari ini nggak sesibuk kemarin. Nggak banyak yang minta edit foto ke Humey, pasang surut bisnis yah." jelas Humeyra berubah sendu.

"Kamu nggak mau ikut ayah kerja ke Bekasi? Hijrah tempat Mey biar kamu tahu bagaimana hidup di kota lain, memang kamu nggak mau dapet jodoh di kota lain?" goda Ayahnya disela pembicaraan serius.

Sejenak Humeyra menghela nafas berat, "Nggak tahu, Humeyra bimbang. Satu sisi Humey udah nyaman di rumah, ya walaupun penghasilan Humey nggak menentu."

"Ayah nggak maksa, cuman menawarkan saja siapa tahu Humey berubah pikiran. Masa depan kamu masih panjang harus menabung dari sekarang." pepatah ayah membuat Humeyra kembali pening memikirkan hidup yang dipenuhi tuntutan bekerja dan itu berlaku untuk wanita juga.

Sebagai wanita pun Humeyra harus mempunyai uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meskipun nafkahnya masih ditanggung Ayah, tapi Humeyra tidak ingin lebih membebankan pengeluaran Bunda. Kebutuhan nya biar Humeyra yang penuhi, lagian Humeyra bukan lagi anak kecil yang segala kebutuhannya harus ditanggung Bunda juga Ayah.

"Kalau Humeyra mau, pasti aku bilang kok yah." ujar Humeyra.

Ayahnya hanya mengangguk lantas mengelus puncak kepalanya.

"Ayah besok pulang lagi ke bekasi? Mau Humey antar naik motor?"

"Memangnya kamu sudah bisa naik motor?" Tanya Ayah masih tidak percaya kalau anak keduanya yang terkenal centil sebenarnya penakut ini bisa menaiki motor.

Karena dulu Humeyra sering bertengkar dengan Kak Aisyah untuk belajar menaiki motor, sewaktu-waktu pasti Humeyra akan membutuhkan kendaraan roda dua itu. Alasan tersendiri yang Humeyra pegang adalah ia kapok setelah sekali ia membawa motor berakhir celaka karena menerobos polisi tidur. Ia belum bisa mengendalikan gas. Tapi sekarang, Humeyra sudah pandai menaiki motor.

"Bisa dong, bonceng Bunda juga aku sudah bisa." ucap Humeyra begitu bangga.

"Pinter, tapi ayah sudah pesan kendaraan buat besok Mey."

"Yah, nggak apa-apa deh kalau gitu."

"Yaudah, kita makan malam dulu, bunda sama yang lain sudah kumpul."

~~~

Semenjak kepulangan mereka dari rumah paman, Farid melupakan satu hal untuk Kak Humeyra, karena sibuk bermain jadilah ia lupa. Saat pulang ke rumah sore tadi, Farid sempat bermain bola di area kost-an. Suara riuh dari luar memanggil kehadiran para santri untuk melihat. Alih-alih ikut bermain bola, Farid malah ditarik oleh salah satu santri untuk mendekat ke tempat jemuran.

"Dek, namanya siapa?" ucap salah satu laki-laki dan Farid ingat laki-laki itu tinggi, agak putih memiliki kumis tipis, kalau tersenyum punya ciri khas seperti cepot.

"Farid kak," jawab Farid tidak menanyakan kembali alasan laki-laki itu menanyakan namanya.

"Gitu ya, yang kemarin lewat ke sini sama siapa? Kakak?" Tanya laki-laki itu lagi.

"Iya kakak,"

"Kenalan yuk sama kakak hehe," ucapnya sambil cengengesan diikuti kedua teman pria itu dari belakang sama-sama tertawa sembari memukul punggung laki-laki itu.

"Nggak akan mau dia, udah tebel sama malu." celetuk Farid membuat laki-laki itu dan temannya kembali tertawa.

"Yaudah, kasih salam buat kakak nya ya," ucap nya.

"Siap kak,"

"Wes makasih, dah sana pulang sudah ashar shalat, shalat." perintahnya langsung Farid laksanakan hendak pulang ke rumah.

Setelah kejadian itu Farid lupa tak segera mencari Kak Humeyra. Setengah tidak menyangka, setelah lamanya Kak Humeyra membatu di dalam rumah ada juga yang naksir kakaknya itu. Farid sudah membayangkan kalau saja salam ini tersampaikan, kakak perempuannya itu akan berjingkrak seperti cacing kepanasan. Meskipun Kak Humeyra centil dimata Farid, tapi bila sudah berhadapan dengan laki-laki wajah kakak nya akan berubah seperti termos mendidih. Merah, berkeringat dan kaku pastinya.

"Kak Humey!" Farid berhambur menghampiri Humeyra yang berjalan ke arah dapur lantas ia segera menarik tangan kakaknya agar cepat menghampiri dapur dan berkumpul bersama yang lain. Sudah ada Bunda, Ayah, Kak Aisyah juga Bang Tama.

Lihat selengkapnya