MELEPAS HARAP

Deya Nurfadilah
Chapter #9

Harap 9 : Salam Habibi

Hari demi hari terlalui dengan kisah yang berbeda, sudah beberapa hari langit sangat cerah membuat suasana kampung terasa ramai. Akhir-akhir ini para santri sering berkumpul di luar kost-an, meskipun sebagian berpisah. Ada yang berkumpul di tempat jemuran, mereka duduk di pojokan dekat jalan sambil memegang buku sambil bersholawat. Juga ada disekitar halaman kost-an yang langsung tertuju ke jalan raya. Keadaan kampung begitu ramai, bahkan beberapa wanita pun jadi banyak berlalu lalang demi melihat para santri.

Bukan itu saja, setiap paginya mereka rutin melakukan olahraga. Jika biasanya orang lain melihat tentara lari pagi, hanya di kampung ini Humeyra melihat santri lari pagi, hanya di sekitaran kampung melewati rumahnya dan itu terus berulang beberapa putaran. Jelas Humeyra mengintip melalui jendela kamarnya, kadang ia menyuruh Farid untuk menunjukkan lebih jelas wajah Agam, lama kelamaan ia bisa mengenal wajah pria itu. Dalam aktivitas berolahraga nya dapat Humeyra tangkap, dua bola mata Agam tersorot pada rumahnya seperti mencari sesuatu.

Pernah suatu hari Farid memaksa menyuruhnya keluar karena Agam mencarinya. Namun yang Humeyra lakukan adalah muncul di balik jendela, itu pun bila Agam tidak bersama temannya baru Humeyra berani muncul.

Berbeda bagi Humeyra, ia tidak senang dengan keadaan seperti ini. Membuat dirinya seperti tertahan dibalik jeruji besi, biasanya Humeyra bebas berjalan ke warung entah itu untuk jajan, jalan-jalan. Tapi beberapa hari ke belakang ia tidak bisa keluar begitu saja, ia harus meneliti sekitar apakah ada kaum adam yang berkumpul atau tidak. Untuk keluar ke halaman rumah pun Humeyra malu, beberapa menit saja ia keluar, sorot pandang dari arah kost-an sudah bermunculan dengan sorak tak jelas.

Salam demi salam tersampai kan pada Humeyra, ia bisa berkomunikasi dengan Agam melalui perantara Farid. Humeyra paham, bagi para santri tidak diperbolehkan memegang handphone maka sampai detik ini Humeyra belum mendapatkan kabar Agam meminta nomor ponselnya.

"Mey, Agam, Agam tuh yang mana?" Tanya bunda membuat Humeyra kaget saat sedang mengintip para santri berlari-lari kecil melewati rumahnya.

"Nah, yang pake baju hitam celana hitam, yang ngelihat ke rumah kita." tunjuk Humeyra.

Bunda memajukan kepalanya lantas menyipit untuk memperjelas pandangan. "Ohh yang itu, berkumis ya kayak ayah. Waktu bujangan dulu Ayah juga punya kumis kayak gitu Mey," bunda terkekeh.

"Emang iya dulu Ayah berkumis?" Tanya Humeyra tidak percaya.

"Beneran Mey, melihat Agam kayak melihat Ayah waktu bujangan dulu." lagi-lagi Bunda terkekeh, melihat itu Humeyra pun ikut tertawa kecil.

"Farid! Farid bangun jangan tidur mulu, sekolah!" teriak Agam saat berlari melewati rumahnya. Sontak Farid yang merasa terpanggil pun muncul ke luar rumah untuk menghampiri Agam. Dari dalam Humeyra meneliti apa yang mereka berdua bicarakan.

"Kak Humey mana?"

"Ada di dalam lagi main hp,"

"Main hp terus, nanti matanya sakit, salam untuk Kak Humey."

Itulah yang Humeyra dengar samar-samar dari dalam, sebenarnya ingin sekali Humeyra keluar dan tersenyum. Tapi Humeyra malu untuk menampakkan wajahnya, ia tidak cukup percaya diri untuk menyapa. Dari tempatnya berdiri, tak lepas Humeyra menatap Agam yang ternyata menatap ke arahnya lantas tersenyum seperti pertama kali mereka bertemu, saat hujan turun. Mata Humeyra terbelalak, saat mengetahui Agam mampu melihatnya dari luar rumah.

"Emang ini kacanya tembus keluar yah?" monolog Humeyra memastikan sendiri.

"Farid! Emang kaca ini bisa kelihatan dari luar?" Tanya Humeyra dari dalam kepada Farid yang masih berada di luar.

"Ya keliatan Kak Humey! Kamu nggak lihat Kak Agam senyum ke kamu?" ucap Farid menghampiri Humeyra.

"Nggak, aku kaget jadi nggak merespon.".

Farid memukul jidat nya frustasi menghadapi sikap kakaknya yang bodoh. "Adduh Kak Humey! Nggak cepet tangkap banget sih?! Harusnya kakak senyum balik." tutur Farid penuh emosi.

"Ya terus gimana? Aku harus nyamperin dia buat bales senyum gitu?"

Farid tak menggubris pertanyaan Kakaknya, ia melenggang pergi seraya berkata, "Kak Agam kasih salam, jangan main hp terus nanti buta!"

"Masya Allah, ‘alaika wa ‘alaihi salam warahmatullahi wabarakatuh." sahut Humeyra tersipu malu.

~~~

Pagi-pagi adalah waktu paling sibuk untuk para ibu-ibu. Memasak makanan untuk anak-anaknya di rumah, menyiapkan bekal untuk Farid. Belum lagi bila Aisyah dan suaminya datang, Sari harus memasak ekstra porsi dari hari biasanya. Untung saja pada pagi yang sibuk ia selalu dibantu oleh anak keduanya Humeyra, walaupun sebetulnya Sari sangat kasihan pada Humeyra yang belum juga menemukan pekerjaan. Anak keduanya itu hanya bisa mengandalkan penghasilan dari bisnisnya saja.

Sari tidak rela bila harus melepas Humeyra bekerja bersama Ayahnya, bekerja menjadi buruh pabrik bukan hal yang gampang, ia tidak ingin Humeyra jatuh tumbang karena pembagian shift, mengingat anak keduanya ini mudah sakit hanya karena kurang makan ataupun begadang.

Beginilah kehidupan, tidak selalu berjalan mulus sesuai keinginan. Harus menjalani ujian dibarengi dengan usaha, ikhtiar untuk menemukan sakinah. Di tengah aktivitas masaknya Sari harus pergi ke warung lantaran gas di rumahnya habis. Dari warung Sari menenteng gas itu, biasanya ia akan menyuruh Humeyra melakukan ini, tapi Sari tahu Humeyra akan malu karena banyak laki-laki.

"Bu, bu, bawa apa itu bu?" Sari menoleh pada sumber suara yang berasal dari belakangnya. Ia mendapati segerombolan pemuda sedang berlari kecil kini beruntun di belakangnya. Sari pun melihat sosok pria yang dituduhkan Humeyra padanya, yang sekarang hanya tersenyum kikuk kepadanya.

"Ini bawa gas dek, lagi olahraga?" Tanya Sari pada pria berambut kribo yang barusan bertanya padanya.

"Iya olahraga biar sehat. Berat nggak bu gas nya? Kalau berat biar saya bantu bawa." Tawar pria itu lagi sambil nyengir.

Spontan Sari tertawa, "Ya berat lah, masa nggak?" ucap sari seraya terkekeh.

"Yasudah sini sama saya bawakan," tawar nya hendak mengambil alih gas tersebut, manik Sari kembali tertuju pada pria bernama Agam, meneliti pria itu dari atas sampai bawah. Sepintas pemikiran berada di otaknya, ia berharap kedatangan pria ini tidak membawa kesedihan untuk Humeyra, bahkan sampai menoreh kan luka akibat kekecewaan Humeyra pada pria ini.

"Nggak usah, ibu bisa sendiri. Sudah biasa bawa gas,"

"Nggak apa-apa bu, saya juga kuat. Harusnya laki-laki yang bawa ini." pria berambut kribo langsung saja mengambil alih gas tersebut kemudian berjalan kecil sambil berbincang ria.

Lihat selengkapnya