Tak seinci pun setelah salat ashar Humeyra beranjak dari sajadah nya, matanya sembab membuat separuh matanya dilanda kantuk. Inilah yang Humeyra takutkan saat dekat dengan seorang pria, ia ingin mendekat namun tak ingin merasakan perpisahan. Apalagi bila dilandaskan atas hubungan pacaran maka Humeyra belum siap untuk menerima putus. Padahal ia dan Agam hanya mengenal dalam jangka waktu tiga bulan, kenapa rasa di hatinya bisa sejauh ini sama seperti ia bertemu dengan Ali? Bedanya kali ini Humeyra belum menemukan kenyamanan dalam berkomunikasi dengan Agam. Mungkin karena status derajat yang berbeda membuat Humeyra sedikit segan untuk berkomunikasi dengan Agam.
Sampai detik ini memang Agam selalu mencari topik pembahasan yang menarik, namun disela itu pemikiran lain selalu menepis sikap manis Agam tidak jauh karena formalitas saat dekat dengan perempuan. Ingat, Humeyra hanyalah sekedar penyemangat Agam saat pembelajaran, bukan berarti ia sudah dicintai oleh Agam. Meskipun separuh hatinya penuh akan harapan dan percaya akan takdir Tuhan, tapi sisi hatinya yang lain dipenuhi rasa takut ketika apa yang ia bayangkan jauh dari ekspektasi nya kelak.
Terkadang Humeyra merasa orang seperti Agam mampu ia miliki, tak urung ditengah kepercayaan dirinya selalu ada perkataan yang mengiris hatinya. Humeyra paham, perkataan itu untuk menyadarkan dirinya bahwa di dunia ini akan setara bila derajat sama. Terus mendengar nasihat Kak Aisyah yang lebih membuatnya down, hati kecilnya selalu meronta ingin marah, bahwasanya keluarganya pun tidak begitu miskin untuk bersanding dengan mereka yang berada. Jika pun harta menjadi materi pembanding, maka bersatu nya dua insan didasari atas uang. Bagaimana jika hal dasar uang itu hilang? Apakah berati dua insan yang sudah bersatu harus dipisahkan?
Lantas apa dasar pernikahan itu? Mengapa semua orang selalu menghujani dirinya dengan perkataan menyakitkan, seolah menggambarkan dirinya adalah manusia paling hina yang tidak bisa bersanding dengan ahli agama? Bukankah seharusnya diajari agar mengetahui? Dibimbing agar memahami? Dibina agar terarah?
Humeyra menangis sejadinya meskipun berusaha menyembunyikan suara isak nya, membuat dadanya terasa dihimpit oleh beban yang begitu berat, seakan saat inilah akhir dari kehidupannya di dunia. Humeyra lelah hidupnya selalu dipenuhi kesengsaraan kisah cintanya, tidak pernah lepas dari belenggu kesedihan membuang seluruh air mata nya lantas mengeluh tak adil. Mengapa ujian hijrah nya berupa berbelit nya cinta Humeyra? Pria seperti apa yang pantas bersanding dengan wanita pendosa sepertinya? Sesungguhnya ia pun ingin dibimbing menjadi baik, ingin dirubah menjadi sholehah, ingin dituntun menuju kebenaran. Maka dari itu, saat ini Humeyra sedang berjuang, sedang berusaha, tidak adakah satu orang yang mampu menyalakan api semangatnya untuk hijrah? Mendukung nya agar tetap berdiri tegap, menasihatinya bukan menjatuhkan mentalnya.
Allahumma bariklana... Fi rajaban wa sya'bana... Wa balighna Ramadhana...
Kesekian kalinya rintik hujan berubah menjadi badai, dengan penuh ketegaran Humeyra menghapus semua jejak hujan di pipinya. Ia tahu siapa yang sedang bersholawat saat ini, siapa lagi jika bukan Agam? Alih-alih merasa tenang mendengar lantunan sholawat oleh Agam, hatinya semakin sibuk bertengkar atas kesedihan.
"KAK HUMEYRA!! Kak Agam..." teriakan Farid seketika berhenti kala mengayunkan pintu lantas menampilkan tubuh Kakak perempuannya meringkuk di atas sajadah.
Tanpa bersuara, Farid menutup rapat pintu kamar Humeyra setelahnya dengan langkah ragu Farid mencoba mendekat ikut bersimpuh di samping sang kakak. Tangan mungil nya berusaha meraih pundak Humeyra yang semakin bergetar hebat.
"Kak Humeyra? Kenapa Kak Humey nangis?" cicit Farid berusaha menatap wajah sang kakak.
Alih-alih menjawab, Humeyra malah berhamburan memeluk Farid. Ia membutuhkan bahu untuk menumpahkan seluruh air matanya, ia membutuhkan bahu tegap untuk dirinya yang rapuh. Dibalik bahu adik kecilnya barulah semuanya pecah, tangisnya bersuara penuh keputusasaan juga derita. Jika akhirnya seperih ini mengapa ia harus dipertemukan dengan Agam? Jika pun Tuhan memberikan pilihan diawal lantas menampilkan kisah akhirnya akan sepedih ini, maka Humeyra lebih baik memilih tidak bertemu untuk mengenal. Lebih baik ia tidak mengenal Agam sama sekali, bila bisa tidak tak usah ia tahu rupa Agam.
"Kenapa aku harus kembali berjumpa sama perpisahan Rid? Kenapa harus dengan cara menangis? Kenapa aku nggak bisa tegar dan ikhlas untuk melepas? Sekali jatuh hati aku bisa sedalam ini, tapi kenapa Agam bisa bertindak sejauh ini Rid? Seolah dia mengharapkan cinta dari aku? Tanpa dia tahu akulah yang menaruh harapan tinggi. Kenapa harus aku yang merasakan cinta sepihak?!" nada bicara Humeyra terdengar parau.
"Kapan aku bisa dicintai sebenar-benarnya tanpa ada permainan di dalamnya?! Kalaupun Agam hadir hanya untuk bermain, lebih baik pergilah dia sejauh-jauhnya, sejauh langit dan tanah!"
Farid hanya bisa terdiam mendengar racauan kakaknya, tak urung dirinya pun ikut bersedih kala melihat Kak Humeyra menangis separah ini. Tiba-tiba saja kedua mata Farid ikut berkaca-kaca melihat kakaknya menangis hebat, mengeluh tidak adil. Meskipun terkadang Farid menyebalkan, tapi bila sudah melihat kakak nya bersedih apalagi karena laki-laki, Farid pun merasa tidak terima. Sebelum airmata nya ikut turun, Farid segera menyeka linangan air mata disudut matanya, lantas mengusap lembut bahu Humeyra yang tak usai tenang. Walaupun Farid masih kecil, belum paham betul akan jalan kerjanya cinta, tapi saat melihat kakaknya bisa menangis sedalam ini, sudah bisa disimpulkan cinta itu menyakitkan dan serumit ini.
Perhatian Farid teralihkan kala pintu kamar Kak Humeyra kembali terbuka, kali ini Kak Aisyah datang.
"Humey kamu kenapa? Kamu nangis?!" tanya Kak Aisyah berjalan mendekat pada Humeyra.
"Ssuut!" desis Farid menghentikan pertanyaan bertubi dari Kak Aisyah.