Jauh-jauh hari Kak Aisyah sudah diributkan dengan menu makanan untuk munggah—hari pertama puasa. Padahal puasa masih tersisa beberapa minggu lagi. Sampai-sampai Kak Aisyah sudah memesan kurma sebagai sunnah buka puasa nanti, memang kakaknya begitu semangat menyambut bulan Ramadhan.
"Kurma sudah, kamu mau beli baju lebaran sekarang Mey?" tanya Kak Aisyah dengan wajah polos, sedangkan Humeyra memasang wajah tidak habis pikir.
"Astagfirullah Kak Aisyah lihat hari, masih lama toh puasa apalagi lebaran. Rempong banget," cibir Humeyra.
"Ya nggak apa-apa, kalau beli baju lebaran pas puasa itu banyakan, nggak kebayang siang-siang ke toko, desak-desakan, panas kan. Mendingan dari sekarang beli." ujarnya.
"Gimana Kak Aisyah aja," jawab Humeyra singkat lantas kembali fokus pada gadget nya.
Keduanya terdiam, keheningan kembali merayap. Masing-masing sibuk dengan ponselnya. Sore-sore biasanya mereka sudah beres dari segala aktivitas, sampai bingung harus melakukan apalagi selain diam. Ya seperti inilah, tidak ada pekerjaan lain selain berkutat dengan layar ponsel, kalau tidak sekeluarga akan melihat serial sinetron di TV. Lebih menyenangkan lagi mereka bisa jalan-jalan ke alun-alun desa sambil berburu makanan.
Beberapa hari lagi Ayahnya akan pulang ke rumah dan Humeyra sudah menyiapkan agenda menyenangkan untuk sore hari. Berkumpul bersama keluarga lengkap adalah hal tersulit untuk sekarang, Ayah sibuk bekerja, apalagi Kak Aisyah. Biasanya setelah pulang kerja atau hari libur Humeyra sering berkeliling kota bahkan pernah sampai pulang larut karena seharian berkeliling kota untuk berburu makanan aneh. Kalau tidak Humeyra dan Kak Aisyah akan berdiam di rumah membuat cemilan sebagai teman nonton drakor. Tapi sekarang, setelah pulang kerja yang menjadi prioritas utama Kak Aisyah adalah suaminya, membuat Humeyra sedikit diacuhkan sebagai adik. Malahan teman bermainnya adalah Farid, saking bosannya Humeyra sampai ikut bergabung bersama teman Farid bermain kartu.
Kehidupannya sudah sumpek, meskipun ada sejumput kebahagian atas kehadiran Agam, tapi tetap saja ia masih senantiasa bersedih kala mengetahui Agam akan segera pergi ke Yaman.
"ASSALAMUALAIKUM BUNDAA!"
Sontak Humeyra dan Kak Aisyah melirik cepat pada halaman rumahnya, keduanya terkejut kala melihat sosok yang datang ke rumah. Bukan sanak keluarga, bukan teman Humeyra juga Kak Aisyah, bukan Ayah, melainkan Agam berada di depan rumahnya. Lantas keduanya saling memandang dalam keterdiaman, hingga detik berikutnya baik Humeyra dan Kak Aisyah beranjak kabur, sibuk melarikan diri sampai-sampai keduanya rebutan berlari bersembunyi di kamar Humeyra.
"Loh ada tamu masuk bukannya bukain pintu malah kabur! Bukain toh Mey, itu Agam datang ke rumah." pekik Bunda dari ruang tamu.
"Malu Bun! Sama Bunda aja buka pintunya, Humey lihat dari dalam kamar saja!"
Kak Aisyah yang berada di sampingnya pun memukul keras pundak Humeyra, "tuh santri idaman datang, bukannya selalu ngeluh mau ditinggal, sekarang udah di samperin malah sembunyi, sana ketemu!"
"Kalau ketemu pengen, tapi lagi nggak ada Kak Aisyah biar nggak ceramah terus nantinya." ujar Humeyra membuat Kak Aisyah mendelikkan mata.
"Mau ngapain dia ke sini?" tanya kembali Kak Aisyah.
"Ya ndak tahu, tanyain aja."
Kali ini Kak Aisyah menampar keras pantat Humeyra saking kesal dengan jawaban adiknya.
"Kamu kan lagi deket sama dia, harus nya tahu."
Sedekatnya aku dengan dia, bukan berati aku tahu semua apa yang dia lakukan. Batin Humeyra, ia tidak membalas lagi ocehan kakak nya. Sungguh ia sudah malas harus berdebat dengan Kak Aisyah, apalagi keduanya berujung pertengkaran dan nantinya Humeyra lah yang harus mengalah, mencatat dirinya yang salah dan Kak Aisyah si paling benar.
Beginilah resiko jadi anak ke dua, menerima kenyataan bahwa dimanapun adik selalu salah dan kakak selalu benar, dan menjadi kakak pun Humeyra harus mengalah juga untuk adiknya. Punya makanan sedikit apapun harus berbagi dengan adiknya bahkan memberikan semua sisa makanannya karena tangisan jelek dari Farid berkumandang.
Semenyedihkan ini menjadi anak tengah. Kalau saja kesabarannya setipis tisu, sudah pasti masing-masing saudaranya sudah kena semprot ludahnya.
~~~
Seusai mandi Sari berjalan menuju dapur, tapi sebelum langkahnya tiba perhatiannya sudah teralihkan kala melihat dua anak perempuannya berlari terbirit. Sari pun mencoba menghampiri ruang tamu, sampai akhirnya ia bisa melihat siapa gerangan yang sudah membuat kedua anaknya berlari. Tanpa diduga Agam ada di depan rumahnya, entah apa maksud kedatangan anak itu.
"Loh ada tamu masuk bukannya bukain pintu malah kabur! Bukain toh Mey, itu Agam datang ke rumah." pekik Bunda dari ruang tamu.
"Malu Bun! Sama Bunda aja buka pintunya, Humey lihat dari dalam kamar saja!"
Sari hanya bisa geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan anak keduanya berat akan malu. Apapun yang terjadi, Humeyra akan berjalan mundur dengan alasan malu. Sifat malu suaminya ternyata turun pada Humeyra, tapi ini terlalu berlebihan sampai membuat Humeyra enggan untuk pergi keluar rumah. Sari sendiri terkadang pusing melihat Humeyra tak bosan-bosan diam di rumah, bahkan mengajak temannya bermain ke rumah pun hampir tidak pernah, terkecuali saat masih sekolah, beberapa kali teman Humeyra datang ke rumah meskipun berniat mengerjakan tugas.
Tapi setelah keluar sekolah, nyaris Sari tidak pernah melihat Humeyra berinteraksi dengan teman-temannya.
Sesampainya di depan pintu, Sari langsung membukakan pintu rumah menampilkan Agam tersenyum tengil ke arahnya.
"Eh, Agam. Ada apa gerangan datang ke rumah?" tanya Sari begitu ramah.
"Gini Bun, Agam sama teman-teman izin mau ikut masak ayam di sini boleh? Soalnya di kost kompor nya cuman ada satu tungku, mau ada acara perpisahan nanti malam takut nggak keburu. Boleh Bunda?" izin Agam begitu sopan, meskipun terdengar agak malu justru Sari begitu senang bisa dikunjungi oleh para santri.
"Boleh banget toh Gam, kenapa nggak dari siang ke sini nya? Bunda pasti bantuin, mungkin sekarang semuanya sudah beres,"
"Hehe, malu Bun sebenarnya ini juga, ngerepotin." ucap Agam mendukkan pandangan.
"Nggak apa-apa nak, ayo masuk. Barang nya sudah dibawa semua?"
"Belum, Agam mau kabari teman dulu suruh bawa ke sini, lewat dapur saja ya Bunda."
Sari mengangguk lantas beranjak ke dapur untuk mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan oleh anak santri. Untung saja hari ini Sari sudah beres memasak, jadi kondisi dapurnya sudah bersih.
Sari menunggu di ambang pintu dapur, lantas melihat dua orang santri menggotong sebaskom ayam, sontak Sari terkejut dengan barang bawaan santri, sebanyak inikah mereka memasak? Siapa pula yang pintar memasak sampai-sampai tahu resep ayam ungkep? Sari berdecak kagum, anak laki-laki saja bisa memasak sendiri, sedangkan Humeyra sulitnya minta ampun untuk belajar masak, pasti selalu ada alibi untuk mengelak. Hingga saat ini pun yang Humeyra bisa hanyalah masak nasi.
"Banyak sekali masak nya, memangnya banyak orangnya?" tanya Bunda ikut mengangkut barang bawaan santri.
"Iya, untuk empat puluh orang."
Sambil memasak Sari dengan ketiga anak santri tak henti berbincang, bercerita tentang pendidikan ke Yaman seperti apa saja. Tanpa diceritakan pun Sari sudah tahu seberapa besar pengorbanan orang tua mereka, bahkan lembar uang yang dikeluarkan pun tak sedikit. Maka tak ayal hidup mereka selalu dilayani dengan kemewahan. Jika saja Sari punya cukup uang, pasti ia juga akan menyekolahkan anak-anaknya sampai keperguruan tinggi apapun minat bakat anaknya.
Meski begitu, Sari tetap bersyukur. Lulus SMA saja Sari sudah amat sangat bersyukur karena sampai saat ini tak ada keluhan apapun tentang finansial. Sekarang fokusnya tinggal pada Farid, anak lelaki satu-satunya yang selalu Sari dambakan kehadirannya. Sebaik mungkin sari mendidik anaknya menjadi lelaki yang terarah, berpendidikan dan beradab.