"Lagian, ngapain lu kawin sama bocah?" Ratih memukul kepala Jean kuat. Ia kesal, mengapa adiknya harus memilih bocah delapan belas tahun yang bahkan baru masuk kuliah untuk menjadi suaminya?
"Udahlah, Kak. Udah kejadian juga." Jean berdiri sambil mengusap perut yang kini berisi buah hatinya dan lelaki yang sangat dicintai. "Insya Allah gue bisa ngelewatin ini semua," ucapnya sambil tersenyum tulus.
"Terserah lu aja, Je. Lu ninggalin Faiz cuma untuk bocah labil nggak bertanggung jawab itu. Gue heran, ada di mana pikiran lu?"
Jean hanya bisa diam mendengar ocehan sang kakak. Bagaimana pun, ia sudah memilih Alric, meski usia mereka terpaut tujuh tahun.
Bukan hanya Ratih yang menentang. Keluarga mereka semua juga tidak setuju dengan pilihan Jean. Begitu juga dengan keluarga Alric, mereka menentang dengan keras hingga menolak datang ke pernikahan keduanya. Terlebih, perbedaan budaya membuat keluarga pemuda itu semakin membenci kehadiran Jean.
Alric adalah keturunan Jerman yang telah lama menetap di Indonesia. Namun, mereka masih kuat menentang perbedaan.
Jean sendiri sudah bertunangan dengan Faiz sebelum bertemu dengan Alric. Semua orang mengejek pilihan Jean. Meninggalkan lelaki mapan dan tampan, bertanggung jawab juga dewasa, hanya untuk menikahi pemuda yang baru kuliah semester pertama.
Ia masih ingat, lima bulan yang lalu saat kedua orang tuanya secara halus membuang dirinya dari keluarga.
"Apa yang ada di pikiran kamu, Je?" Sang ayah tampak sangat terkejut saat Jean menceritakan semuanya.
"Pa, tolong. Kali ini, biar Je yang tentuin sendiri."
"Mama bingung sama jalan pikiran kamu, Je." Sang ibu menimpali.
"Je cuma minta restui, nikahkan, dan udah. Selebihnya, biar Je tanggung sendiri," ucap Jean sambil mendesah berat.
Tidak ada yang percaya dengan keputusan gadis cerdas itu. Namun, meski menentang keras, kedua orang tuanya tetap menikahkan Jean dan Alric. Setelahnya, mereka melepaskan tangan dari putri bungsunya tersebut.
"Papa udah lakuin tugas sebagai orang tua, nikahin kamu. Sekarang, Papa nggak mau tahu lagi apa pun yang kamu lakuin di luar rumah ini."
"Terima kasih, Pa."
Dengan berat hati, Jean melangkah pergi dari rumah bersama Alric, suaminya.
Jean sendiri sudah memiliki karir yang sangat cemerlang, sebagai lulusan master terbaik dari salah satu universitas ternama di Belanda, ia tidak pernah menemui hambatan dalam berkarir. Penghasilannya cukup besar, sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup meskipun Alric tidak mampu menafkahinya.
Tentu saja, Alric hanya mahasiswa baru yang bekerja untuk biaya kuliahnya sendiri. Dengan penghasilan yang tak seberapa, ia masih suka hidup layaknya anak muda seusianya. Bersenang-senang dan pulang larut malam.
Meski begitu, ia tahu telah memiliki tanggung jawab dan berusaha cukup keras untuk memenuhinya. Di mata keluarga Jean, ia memang hanya bocah labil yang tak tahu apa-apa. Namun, di mata Jean, Alric telah melakukan hal besar yang tak bisa ia gambarkan.
Jean menghargai semua yang Alric lakukan meskipun terkadang merasa tertekan dengan sikap kekanakan suaminya itu.
"Assalamualaikum ...." Alric melangkah ke dalam rumah dengan sekantong buah di tangan.
"Waalaikumsallam." Jean menghampiri suaminya yang tampak tersenyum senang tak seperti biasa. "Kenapa? Muka lu seneng banget kayaknya?"
"Gue dapet kerjaan baru!" seru Alric sambil melangkah dengan dada membusung.
"Oh, ya? Kerjaan apa?" tanya Jean sambil meraih kantong buah dari tangan Alric. "Jadi tukang buah?" candanya.
"Enak aja, lu." Alric melangkah mengikuti Jean menuju dapur.
"Terus, kerja apaan?"
"Gue diminta untuk ngurusin rumah makan punya adeknya dosen gue."
"Wah, Al, seriusan?" Jean menatap suaminya senang. Ia tahu kemampuan memasak Alric sangat bisa diandalkan.
"Mulai besok, gue jadi Chef Alric," ucap pemuda itu sambil membusungkan dada.
"Terus, kuliah lu gimana?" tanya Jean khawatir. Ia sadar, bahwa Al juga telah dibuang dari keluarganya. Ia tidak ingin Al berhenti kuliah, itu masa depannya.
"Gampang. Kuliah gue 'kan nggak seharian juga. Gue bisa full di restoran dari jam empat sore sampe jam sepuluh. Lu nggak apa-apa 'kan kalau gue pulang malem terus?"
Jean mengangkat kedua alis, kemudian mengangguk pelan. "Nggak masalah. Yang penting kuliah lu tetep bener," ujarnya.
"Amanlah."
"Ya udah, lu mandi dulu. Gue udah masak buat makan malem." Jean meletakkan panci berisi gulai ikan yang tadi dimasaknya ke atas kompor untuk dipanaskan.
Kehidupan mereka tampak santai. Jean dengan kedewasaan yang tidak bisa diimbangi oleh Al. Sementara Al dengan sifat kekanakannya yang harus setiap hari dihadapi oleh Jean. Namun, mereka menata semuanya bersama. Sesuai porsi yang dibutuhkan.
Jean, meski memiliki penghasilan besar dan memenuhi kebutuhan rumah tangga, tidak lantas merendahkan Al dengan ketidakmampuannya. Begitu pula Al, ia memang menyebalkan dengan kebiasaan bermain game dan keluyuran yang tak jelas, tapi selalu berusaha bertanggung jawab atas Jean dan bayi yang dikandungnya.
***