Jean berdiri di bawah malam. Di atas sana, bulan membulat dengan sempurna. Purnama. Setiap kali matanya menatap bintang-bintang, sesak mulai memenuhi rongga dada, air mata memaksa untuk tumpah.
Bukan patahnya hati yang ia tangisi, tapi pecahnya percaya yang baru saja dikhianati. Pedih.
"Je, udah malem. Masuk." Al berdiri di ambang pintu, matanya menatap ke arah perut sang istri. "Kan nggak lucu kalau perut lu makin gede karena angin."
Jean tertawa kecil mendengar lelucon yang dilontarkan pemuda itu. "Lu pikir perut gue balon?"
"Lima menit lagi gue yakin bakalan berubah jadi balon," ujar Al lagi.
Jean melangkah masuk tanpa mengatakan apa pun. Hanya seulas senyum tipis ia layangkan kepada Al.
"Je ...."
Langkah wanita itu tertahan. "Hem ...," sahutnya tanpa menoleh.
"Lu pernah nginjek paku nggak?" tanya Al pelan.
Pertanyaan itu membuat Jean berbalik dan mengernyit tak mengerti. "Nggak. Kenapa emang?"
"Kalau ketusuk duri, pernah nggak?"
"Pernah. Apaan, sih?"
"Sakit nggak?" tanya Al lagi.
"Sakitlah."
"Apa hal pertama yang lo lakuin waktu ketusuk duri?"
Jean mendesah kesal. "Nangis," sahutnya singkat.
"Abis nangis?"
"Ya, gue cabut durinya."
"Itu ...." Al berjalan mendekati sang istri. "Cabut durinya," bisiknya lembut seraya meletakkan tangan di dada Jean.
"Gue nggak paham," ujar Jean.
"Lepasin. Buang sumber sakitnya. Salah satu hal terhebat yang bisa lo lakuin adalah dengan melepaskan apa yang buat hati lo sakit." Al berjalan melewati wanita itu. "Lo harus tahu, Je ... ada yang datang cuma untuk jadi bagian dari kenangan, bukan jadi takdir atau masa depan lo."
Jean mematung seraya menatap Al yang meninggalkannya menuju kamar. Ucapan pemuda itu terasa sangat menampar baginya. Melunakkan setian sendi yang menegang setelah berulang kali memutar memori bersama Faiz.
Kenangan ketika tubuhnya jatuh ke dalam pelukan pria itu, beberapa bulan yang lalu. Juga kenangan, ketika dirinya menyaksikan awal hingga akhir perselingkuhan Faiz dan salah satu sahabat terbaiknya.
***
Lemah langkah Jean menyusuri trotoar. Air matanya jatuh mengingat apa yang baru saja dilihatnya. Amira, teman yang selama ini menjadi buku harian untuk setiap isi pikiran. Kepada Amira ia ceritakan segala bahagia dan luka. Namun, benar adanya, bahwa pengkhianat terdekat adalah teman.
Langkah Jean terhenti ketika sebuah mobil menepi. "Alric?" gumamnya.
"Je ...." Al membuka pintu mobilnya untuk gadis itu. Tentu saja ia tahu apa yang dialami oleh Jean, mereka berada di acara yang sama tadi. Mata Al selalu mengawasi, juga ketika Jean berlari dengan air mata. Ia melihat segalanya.
"Gue jalan aja," ucap Jean seraya kembali melangkah.
"Hei, Je ... gue, sih, maunya juga cuek liat lo jalan kaki jam segini. Tapi, berhubung gue ini laki-laki sejati yang cuma ada satu di muka bumi, jadi gue bakalan paksa lo naik mobil ini."
Jean mendesah pasrah. Langkahnya lemah menuju mobil pemuda itu.
Sudah tiga kali keduanya bertemu, hanya sesekali saling menyapa. Sebab tangan Faiz tidak sekali pun melepaskan Jean. Siapa pun akan mengira pria itu sangat mencintai Jean.
Namun, penilaian Al tidaklah sama. Ia bisa dengan jelas menangkap sesuatu antara Faiz dan Amira. Sesuatu yang lebih dari sekadar teman.
"Anterin gue ke hotel," pinta Jean datar.
"Siap, Nyah!" Al melajukan mobil menuju hotel tempat Jean menginap. "Patah hati itu biasa, yang nggak biasa itu kalau ...."
"Al ... zip it!"
"Yes, Ma'am."
Keduanya tak lagi saling bicara. Hanya suara tangis Jean yang memecah hening di antara mereka.
Lima belas menit membelah malam, Al menepikan mobil di parkiran hotel. "Masih mau nangis?" tanyanya setelah melihat mata Jean mulai membengkak.