Al berdiri menatap jauh ke laut luas. Membiarkan kuatnya ombak mengempas kaki yang nyaris tak kuat tegak berdiri, angannya mengembara mencari muara bagi rindu. Ribuan kali, hanya foto dan video yang mempertemukannya dengan sang buah hati.
Seulas senyum, kemudian berganti dengan pukulan-pukulan kecil setelah menyadari ia akan terpisah dari Maleeqa.
Ancol. Bukan tempat yang nyaman untuk menyendiri, pantainya tak pula indah untuk mengobat pedih di hati. Ia butuh mendaki ke puncak tinggi, menaklukkan duri dan ranting di atas gunung, entah di mana.
Namun, hatinya tidak bisa menjauh pergi. Ia tidak akan pernah meninggalkan Maleeqa, sesakit apa pun rasa, seberat apa jua beban.
Sebaris senyum terukir di wajahnya. Potret Maleeqa dengan gaun merah dan rambut diikat kuda, membuat hati kian menjerit mencari. Ia tidak terbiasa hidup tanpa suara bocah itu, kakinya lincah berlari menimbulkan bunyi, tangisnya kala merajuk, juga panggilan manja saat mulai mengantuk.
Sungguh, ia tidak bisa menjauh dari gadis kecil itu.
"Sudah menemukan apa yang kamu cari?"
Al terkesiap. Ia berbalik dan mendapati Jean berdiri di sana. Mengenakan kemeja merah, berpadu jeans hitam, dengan rambut tergerai. Lukisan rindu ada di hadapannya kini. Dengan tatapan dipenuhi harap.
"Masih ingin sendiri?" tanya Jean samar. Tiupan angin saat air laut mulai pasang membuatnya berjalan mendekati Al. "Jangan berbohong padaku, Al. Aku tahu Faiz membuatmu berjanji untuk meninggalkan kami," sambungnya.
Al meremas kuat jemarinya yang berada di balik saku celana. "Bagaimana kamu tahu?" tanyanya ragu.
"Karena aku mengenalmu aku tahu apa yang kamu butuhkan saat terluka. Benar, aku kejam telah mengabaikanmu selama bertahun-tahun. Mengikat tanpa menyisakan ikatan. Sementara kamu terus ada dengan cinta, aku memilih untuk menjadi fana." Jean mendesah kuat, ia sedang berusaha membuat pemuda itu tinggal. "Aku bukan orang baik, Al. Lihatlah, kita sama-sama bodoh ketika Leeqa bertanya ada berapa surat dalam Alquran. Kita sama-sama hanya bisa membaca Al Ikhlas ketika salat. Kita juga sama-sama buta bagaimana mencari cahaya dalam agama. Tapi, Al ... aku tahu pasti, bahwa kita selalu bersama ingin membaik. Kamu, dengan keterbatasan ilmu, tetap mencoba berdiri di depan menjadi Imamku. Ya, aku belum bisa menjadi sebaik wanita lain, tapi bersamamu aku membaik. Pentingkah cinta untuk itu semua, Al? Tidak cukupkah bagimu kita berjalan bersama sebagai keluarga? Sudah pupuskah harapan yang pernah kamu lukis untuk melihat Leeqa hingga dewasa?"
Al menunduk, menatap butir pasir yang menempel di kakinya yang telanjang. "Ini bukan soal ada atau tidaknya cinta di hatimu untukku, Je. Ini soal janji lelaki. Untuk Leeqa, apa pun akan aku lakukan ...."
"Meski harus menyakiti hatinya?" Jean sedikit berteriak, mencoba mengalahkan kuatnya angin dan deru kasar sang ombak. "Apa kamu pikir dia akan bahagia setelah kepergianmu? Apa kamu pikir hatinya akan baik-baik saja ketika membuka mata tanpa melihat ayahnya?"
Tanpa aba-aba, setetes bening jatuh dari sudut mata pemuda itu. "Apakah dia akan bahagia jika tahu aku bukan Ayah kandungnya?"
"Sepenting itukah status darah untuknya? Leeqa mencintaimu dan dia tahu betul cintamu sangat besar kepadanya. Biarkan waktu yang menentukan, Al. Jika dia terluka, setidaknya dengan kamu di depan mata. Saat ini, jika aku katakan kepadanya bahwa kamu pergi dan tidak akan pernah kembali ... apa menurutmu dia tidak akan terluka?"
"Lalu, apakah kita harus terus berbohong kepadanya?" tanya Al dengan tatapan kaku.
"Kita akan katakan kebenaran ini setelah dia cukup bisa mengerti ...."
"Bukan tentang siapa ayahnya." Al memotong ucapan Jean. "Tapi tentang kita. Apakah kita harus terus berpura-pura di hadapannya?"
Tenggorokan Jean tercekat. Tangannya mengepal kuat. Ia tidak tahu harus mengatakan apa kepada pemuda itu tentang perasaannya. Cinta itu benar-benar tidak pernah ada. Hanya kagum dan simpati atas sikap Al yang dewasa.
"Katakan, Je ... akankah kita terus hidup begini?" tanya Al lagi.
"Beri aku waktu. Bisakah kita mencoba kembali?"
Al hanya mematung. Ia tahu berapa lama pun mencoba, mereka tidak akan pernah berhasil, karena hati Jean benar-benar tidak pernah terbuka untuk dirinya. Namun, ia tidak pernah mampu melukai Maleeqa.
"Beri aku kesempatan, Al. Aku pun ingin merasakan cinta sepertimu, aku ingin mencintaimu. Tidak ada lelaki yang pantas mendapatkan itu selain kamu, Al. Beri aku kesempatan."
Al tidak ingin memilih meskipun bisa. Ia ingin terus berada di sana untuk dua wanita yang sangat dicintai. Pengorbanannya cukup besar demi hidup bersama mereka berdua. Meninggalkan keluarga, kehilangan masa muda, dan menjadi dewasa. Ia telah memutuskan semua itu layaknya seorang pria, tentu terlalu cepat jika harus menyerah saat bahagia mulai terlihat.
Ia tidak akan pernah menghancurkan pengorbanan besar itu.
"Maukah kamu memberiku kesempatan, Al?" Jean mengulangi dengan nada lebih lembut. Ia sendiri tidak tahu, akankah rasa itu muncul di sudut kalbu, atau selamanya akan menjadi palsu? Ia hanya terlalu takut sendiri, juga tidak siap merasakan kehilangan sosok yang selama ini melindungi.
"Aku tidak akan memaksamu, Je. Aku akan tetap tinggal meskipun kamu tidak menyisakan cinta. Aku baru akan pergi jika kamu yang meminta." Al berjalan mendekati wanita itu. "Usiaku memang muda, tapi caraku jatuh cinta sangat dewasa. Dan cinta yang dewasa, tidak akan memaksa untuk mendapatkan balasannya."
Hanya selangkah. Jean sudah berada dalam pelukan lelaki itu. "Terima kasih, Al," bisiknya lirih.
Jean mungkin beruntung, dicintai dengan begitu besar. Namun, Al jauh lebih beruntung, sebab mampu mencintai meskipun tiada dibalas sama.
Bagi pemuda seperti Al, merasakan jatuh cinta dan berkomitmen menjaga wanita yang dicintainya adalah luar biasa. Tanpa harus menuntut menerima rasa yang serupa.
***
"Ayah, apa kita akan pulang?" Maleeqa duduk di tepi ranjang dengan kedua kaki berayun senang.
"Ya, kita akan pulang," sahut Al seraya mengusap lembut pipi gadis kecilnya.