Jean baru saja tiba di rumah ketika dilihatnya Al tertidur di sofa. Perlahan ia menurunkan Maleeqa dari gendongan.
"Ayah ...."
"Sstt ... jangan ganggu Ayah, Nak. Biarkan Ayah istirahat, kamu pergilah ke kamar, nanti Ibu menyusul."
Si kecil Maleeqa berlari ke arah kamar tanpa membantah. Meninggalkan Jean yang masih duduk dengan perasaan heran. Pasalnya, Al pulang lebih cepat dari dirinya. Dan itu tidak biasa, sebab Al sangat menggilai pekerjaannya selama ini.
Cukup lama Jean mematung, menatap tampan wajah yang sedang terlelap. Usianya memang jauh lebih muda, tetapi hati dan sikapnya tidak perlu diragukan lagi. Al lebih dewasa dari dirinya.
Entah beruntung atau apa. Jean merasa berada di Surga selama hidup bersama Al. Meski cinta tidak terasa, yang lebih penting dari itu ialah, ketenangan. Ia mampu merasakan besar cinta Al, tanggung jawab, juga perlindungan.
"Ternyata, seindah ini rasanya dicintai," gumam Jean lirih.
Pelan ia menjatuhkan kepala di sandaran sofa. Matanya perlahan terpejam, melepaskan penat dan berat isi hati yang disimpan. Kembalinya Faiz benar-benar berhasil membuka luka lama yang begitu ingin ia hapuskan.
Karena sejatinya, kepedihan adalah ketika jatuh cinta lantas tenggelam ke dalamnya. Bangkit dari kubangan sakit tidaklah mudah, perjuangan kerap sia-sia tanpa teman untuk melewatinya.
"Mungkin hanya aku yang beruntung memiliki teman sepertimu, Al." Lagi-lagi Jean tersenyum menatap wajah polos yang tengah berbaring di hadapannya. "Aku terlalu takut untuk mengakui betapa aku membutuhkanmu di sampingku. Aku takut jatuh cinta kepadamu," bisiknya lirih.
Berat napas Jean embuskan perlahan, matanya kembali terpejam, menikmati tenang yang hanya muncul ketika Al berada di dekatnya.
"Em ... Je?"
Jean terkesiap melihat pemuda itu terjaga. "Hai, kamu pulang cepat?" tanyanya seraya mencoba tetap tenang.
"Ya, aku keluar dari tempat itu." Al beringsut bangkit, kemudan duduk dengan kepala mendongak ke atas langit-langit. "Sulit rasanya. Selama ini aku bekerja tanpa aturan, tidak ada mandor yang mengarahkan telunjuk ke wajahku. Tapi si arogan itu memperlakukan aku seperti pesuruhnya."
"Lalu?" Jean tidak tahu harus mengatakan apa. Selama ini Al memang selalu bertanggung jawab untuk kebutuhan rumah dan Maleeqa. Meski berulang kali meminta agar semua keperluan mereka tanggung bersama, terlebih untuk Maleeqa. Namun, bagi Al, rumah yang mereka tempati beserta isinya adalah tanggung jawab penuhnya sebagai suami.
"Tidak masalah. Aku akan membuka kafe tidak jauh dari sini. Tadi aku sudah bertemu pemilik kios di ujung jalan luar kompleks, tempatnya cukup luas dan strategis. Aku sudah membayar untuk sewa selama satu tahun ... hanya butuh sedikit modal lagi untuk renovasi dan membeli bahan-bahan yang aku butuhkan."
Jean mendesah lembut. Ia tahu pemuda itu tidak memiliki cukup tabungan untuk membuka usaha baru. Sebagian besar penghasilannya ia gunakan untuk membayar asuransi dan tabungan sekolah Maleeqa.
"Butuh berapa untuk membuka tempat itu?" tanya Jean lembut. Ia tidak ingin menyayat harga diri suaminya.
"Renovasi, perlengkapan, dan bahan-bahan ... entahlah, mungkin dua puluh juta." Al mengusap kepala dengan putus asa. Ia tidak ingin istri dan anaknya kekurangan hanya karena ia tidak lagi bekerja untuk orang lain.
"Aku punya tabungan. Pakai saja untuk ...."
"Tidak, Je." Al menatap Jean lekat. "Aku kepala keluarga, biarkan aku memikirkan semuanya sendiri."
Jean menghela napas panjang, ia balas menatap pemuda yang penuh tanggung jawab itu lekat. "Dari mana kamu mendapatkan uang untuk modal usaha? Aku tahu tabunganmu tidak cukup," ujarnya lembut.
"Aku akan menjual sepeda motor. Uangnya lebih dari cukup untuk modal."
"Aku tahu kamu ingin memegang tanggung jawab penuh untuk keluarga ini. Tapi kamu tidak bisa melakukan segalanya sendiri, Al. Setidaknya biarkan aku membantu."
"Tapi itu uangmu, Je ...."
"Anggap ini pinjaman. Aku tidak akan membiarkanmu menjual sepeda motor itu."
Kendaraan itu seperti nyawa kedua bagi Al. Jean tahu, menjual sepeda motor itu adalah bentuk sikap putus asa sang suami. Karena benda itu sudah menemani Al selama ini.
Al menyapu wajah lembut. Ia memang membutuhkan bantuan saat ini. "Baiklah," ucapnya pasrah.
Jean tersenyum senang. Ia ingin hidup selamanya bersama Al meskipun tidak lahir cinta di dalam hati. Yang ia tahu, mereka bahagia dan baik-baik saja.
"Apa kamu selalu memiliki kekuatan untuk menghadapi segalanya, Al?" tanya Jean lirih. Ia selalu kagum dengan cara Al menghadapi masalah.
"Akan menjadi orang yang paling rapuh kalau aku melihat penderitaan diri dari duniaku sendiri. Padahal aku hanya satu dari sekian miliar manusia yang hidup di planet ini. Siapa yang bisa menjamin kalau aku adalah satu-satunya manusia yang memiliki masalah di bumi? Bukankah sebaiknya aku menikmati luka sebagaimana aku menikmati suka? Karena faktanya, yang hidup di dunia bukan hanya aku saja."
Jean terpaku. Pemuda itu selalu tampak memesona setiap kali kebijakan datang dari hatinya yang seluas samudra.