"Gadis yang datang bersama temanmu waktu itu, em ... Tia?"
Jean menatap Al yang sedang serius meracik kopinya.
"Thea," sahut Al singkat. Ia sedang fokus mengingat cara yang Thea ajarkan untuk menghasilkan kopi hitam yang nikmat. Meski bukan barista, Al berulang kali menerima pujian dari Thea untuk kopi buatannya.
"Dia cantik." Jean menggigit bibir bawahnya kuat. Entah mengapa ia merasa tidak senang melihat Thea beberapa kali datang menemui Al ketika sedang di kafe.
"Ya. Setahuku, semua wanita memang cantik. Yang tampan jelas sekali aku."
"Kurangi sikap narsismu itu," ujar Jean dengan sudut bibir yang ditarik ke belakang.
"Fakta. Fak--ta."
Al berjalan ke arah mesin roti yang baru saja berbunyi. Pertanda bahwa apa yang ada di dalamnya baru saja matang.
"Sarapan di sini atau di kantor?" tanya Al sebelum mengeluarkan roti yang sudah matang sempurna.
"Di kantor saja. Aku ada meeting pagi ini." Jean mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas, memastikan penampilan wajahnya tidak memalukan. "Kamu yakin tidak masalah menjaga Leeqa di sini?" tanyanya kemudian.
"Ya. Akan lebih seru menunggu pelanggan ditemani oleh cerewetnya." Al tersenyum melihat buah hatinya sedang bermain di salah satu kursi. "Lagi pula, dia tidak rewel," sambungnya.
"Menurutku kamu membutuhkan satu atau dua pegawai."
Al mendesah pelan. "Benar, aku mulai kewalahan belakangan ini," ujarnya setuju.
Nama Maleeqa tampaknya membawa keberuntungan bagi kafe yang baru berdiri kurang dari dua bulan itu. Al sudah memiliki pelanggan tetap. Banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu di tempat itu, lokasinya yang tidak jauh dari perkantoran pun membuat kafe itu menjadi tujuan para pegawai menghabiskan waktu istirahat. Beberapa dari mereka bahkan memilih kafe milik Al itu untuk meeting.
Bukan hanya itu, pelanggan dari restoran tempatnya bekerja dulu pun satu per satu datang mencarinya.
"Tidak ada yang bisa membuat steak senikmat dirimu, Al."
Begitu komentar beberapa orang terhadapnya.
"Aku harus berangkat sekarang." Lagi-lagi Jean melihat wajahnya dari cermin. Hari ini ia akan bertemu para petinggi, ia ingin tampil sebaik mungkin di hadapan semua orang. "Aku akan singgah untuk membantu sepulang dari kantor nanti," sambungnya seraya berjalan mendekati Maleeqa.
"Sarapanmu." Al memberikan tas bekal yang ia siapkan dengan sepenuh hati.
"Thank's."
"Leeqa, cium ibumu," perintah Al kepada sang putri.
Gadis kecil itu berdiri di kursi, menyambut bibir sang ibu dan membalas ciumannya. "Aku sayang Ibu," ucapnya polos.
"Aku tahu. Ingat, apa yang tidak boleh kamu lakukan selama berada di sini?"
"Aku tidak boleh keluar dari kafe tanpa Ayah. Tidak boleh bicara dengan orang asing, tidak boleh menerima apa pun dari orang asing."
Jean tersenyum, sekali lagi ia mendaratkan ciuman di pipi putrinya. "Apa lagi?"
"Tidak boleh merepotkan Ayah ...."
Jean menyipitkan kedua mata. Satu ciuman lagi ia berikan di kening gadis kecil yang usil itu. "Lalu?"
"Tidak boleh pegang remot tivi," ujar Maleeqa seraya memamerkan barisan giginya yang putih.
"Anak pintar. Baiklah, Ibu harus pergi."
"Hati-hati, Bu!" seru Maleeqa dengan suara kecilnya.
Setelah melihat mobil Jean pergi, Al kembali menekuni racikan kopi yang belum sempat ia cicipi.
"Ayah ...." Si kecil Maleeqa berlari kecil ke arahnya. "Boleh putar lagu?" tanyanya dengan kedua mata berbinar.
"Lagu apa?"
"Aku tidak tahu lagu apa, tapi Tante Thea sering menyanyikannya."
Al mengerutkan kening seraya berpikir. Ia tahu Thea memang suka bernyanyi kecil, suara gadis itu memang merdu. Lembut. Seperti wajahnya.
"Ayah," panggil Maleeqa lagi.
"Ayah tidak tahu lagu apa yang kamu maksud, Sayang."
"Tante Thea sering menyanyikannya."
"Ayah sungguh tidak tahu ...."
"A whole new world
A new fantastic point of view
No one to tell us no
Or where to go
Or say we're only dreaming ...."