"Aku tidak pernah bisa menyentuh hatimu, Je. Aku juga cukup yakin kamu tidak akan pernah meminta saranku untuk kenaikan jabatanmu."
Jean menjatuhkan diri di kursi dengan kasar. "Apa yang salah dengan kenaikan jabatanku ini?" tanyanya tak mengerti.
"Sudahlah, abaikan saja. Selamat untuk pencapaianmu. Tolong ambil Leeqa, aku sudah selesai." Al menutup mesin kasir sedikit kasar. Mengikat uang dan memasukkan ke dalam ranselnya.
"Jelaskan dulu apa maksud ucapanmu tadi?" Jean berdiri dengan tangan melipat di dada. Ia merasa Al tidak menyambut kebahagiaannya dengan baik. "Kamu mungkin tidak tahu. Tapi aku menginginkan jabatan ini sejak lama," ujarnya.
"Kamu benar, Je ... aku memang tidak pernah tahu apa pun tentangmu, isi hatimu, dan segalamu. Aku tidak tahu. Maafkan aku."
Keributan pertama selama pernikahan mereka. Keduanya tidak tahu, ada hati yang merasa tidak nyaman dengan pertengkaran itu.
Thea berjalan keluar dan membuat keduanya menahan gerak lidah masing-masing.
"Leeqa masih tidur. Dia sudah makan dan minum susu. Aku permisi. Al ... Je."
Tidak menunggu jawaban salah satunya, Thea melangkah keluar dan meninggalkan mereka yang masih mematung.
Dengan napas yang terasa berat, Al duduk bersandar seraya mengusap wajah dengan kasar. "Katakan padaku, Je, katakan kalau pekerjaanmu tidak akan membuat Leeqa kehilangan waktu bersamamu."
Lama Jean terdiam. Ia sendiri tidak bisa memastikan bagaimana kehidupannya ke depan. Apakah pekerjaan itu akan mengganggu waktunya bersama Maleeqa atau tidak.
"Katakan. Atau aku harus mencari pengasuh untuknya?" Al menatap sang istri lekat. Menunggu jawaban dari wanita yang sangat dicintainya. "Aku tidak memiliki keberanian untuk melarangmu menerima jabatan itu. Tapi aku akan selalu bersikap berani untuk putriku. Bekerjalah sesukamu, sepuas yang kamu mau, tapi tidak dengan membuatnya kehilangan perhatian darimu."
Jean menunduk dalam. Ia mengerti apa yang Al katakan, diam-diam dirinya juga merasa takut akan hal itu. Bayangan kesibukan jelas tampak di depan mata.
"Kamu tahu aku menyayangi Leeqa lebih dari apa pun, Al. Aku tidak akan mengurangi waktu bersamanya. Tidak meskipun hanya satu detik. Jangan khawatir."
Adalah wajar jika Jean menginginkan sesuatu yang lebih dari pekerjaannya. Selama ini ia adalah yang terbaik di antara semua rekan. Mimpinya adalah berada di atas kursi direktur, dan baru saja hal itu terkabul.
Namun, di belakang mimpi itu ada Al dan Maleeqa yang mungkin akan merasa kehilangan waktu bersamanya.
Pun wajar jika Al merasa takut kenaikan jabatan itu membuat Jean lupa. Karena sifat alami manusia memanglah melupa. Jauh di lubuk hatinya, Al ingin melihat Jean benar-benar menjadi istri dan ibu seutuhnya. Berdiam di rumah, menunggunya pulang dari bekerja.
Namun, semua harapan itu benar-benar jauh dari jangkauan Al. Ia bukan hanya takut kehilangan waktu bersama Jean. Yang lebih ia takutkan ialah kehilangan wanita itu. Dengan jabatannya saat ini, akan banyak lelaki yang mendekati. Mengingat itu membuat dada Al seperti terbakar. Panas.
***
Sabtu pagi. Al membuka mata dan mendapati Jean sedang berdiri menatapnya.
"Selamat pagi," sapa Jean lembut.
Berulang kali mengerjap untuk meyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya bukanlah mimpi. Al menahan napas menyadari itu nyata. Sungguh hal baru melihat wanita itu masuk ke dalam kamarnya.
"Bangunlah. Ini akhir pekan, aku akan membantumu di kafe."
Setelah keributan semalam, Jean tidak bisa tidur barang satu detik pun. Ia sangat mengerti mengapa Al begitu marah. Hatinya tidak tenang telah melukai pemuda yang mengorbankan hidup demi dirinya. Selain itu, ia juga takut kehadiran Thea akan membuat Al benar-benar menjauh.
"Em ...." Jean mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Maafkan sikapku semalam," ucapnya lirih.
Al mengusap wajah dan berusaha bangkit tanpa menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Hanya celana pendek yang ia kenakan di baliknya.
"Tidak masalah. Aku hanya khawatir terjadi sesuatu padamu."
"Kamu sudah memaafkan aku?" tanya Jean seraya menahan tawa melihat Al memegang selimut begitu erat.
"Keributan dalam pernikahan itu seperti lilin di tengah gelap. Wajar saja ketika dua hati yang berbeda hidup bersama, lalu percikan-percikan kecil muncul. Yang salah adalah jika kita menanam amarah lalu membiarkan akarnya menguasai hati."
Selalu dewasa dan mengagumkan. Begitulah Al di mata Jean. Melindungi hingga ke hati.
"Terima kasih karena selalu dewasa menghadapi sikapku, Al."
"Sebelum ini kamu selalu sabar menghadapi tingkah konyolku, bukan?" Manis Al tersenyum, menyibak tirai yang menutup debar di hati Jean.
Jean melangkah mendekati pemuda itu, jemari lentiknya menyibak rambut dan mengikatnya ke atas seperti ekor kuda. Dengan mata lembut ia menatap sang suami. "Terima kasih karena kamu tidak pernah menyakitiku," bisiknya.
Kening Al berkerut melihat sikap Jean yang tidak biasa itu. Debarnya kian berisik, serupa ribuan genderang yang dipukul bersamaan. "Akan selalu ada hati yang tidak ingin menyakitimu, Je. Seberapa sering pun kamu menyakitinya."
Kini Jean berdiri di hadapan Al dengan berani. Mematahkan jarak dan membuat pemuda itu salah tingkah. "Apa aku sering menyakitimu?" tanyanya seraya mendekatkan wajah hingga hidung mereka saling bersentuhan.
Berulang kali Al menelan saliva karena gugup. "Em ... tidak juga, hanya saja ...."
"Hanya saja?"
Al membisu. Debar gugup kini berganti menjadi gairah pagi hari. Lembut tangannya merengkuh tubuh Jean, benar-benar membunuh jarak yang tersisa.