"Terima kasih," bisik Jean ketika sedang menunggu Al membuat sarapan untuknya.
"Untuk apa?" Al mengernyit menatap wanita yang wajahnya selalu merona sejak apa yang terjadi tadi malam dan pagi hari.
Jean mendekat ketika Al sedang merapatkan kotak bekalnya. Tanpa berkata apa-apa ia memeluk pemuda itu dari belakang. "Rasanya ada bunga-bunga di sekujur tubuhku," bisiknya.
"Benarkah? Mau aku bantu menyiram kembali bunga-bunga itu?" Al balas menggoda.
Wanita itu terpingkal melihat wajah Al yang selalu tampak konyol. "Aku berangkat." Jean mendaratkan ciuman di pipi kiri Al, kemudian setengah berlari meninggalkan kafe.
"Habiskan sarapanmu!" teriak Al yang entah didengar atau tidak oleh istrinya.
Bunga-bunga telah mekar, hangat mentari kini benar-benar memenuhi ruang hati. Al tidak lagi keluar rumah dengan hampa di dada, meski rasanya kepada Jean belum pasti berbalas, setidaknya telah runtuh penghalang di antara keduanya.
Wajah pemuda itu tampak lebih cerah. Serupa malam yang dipenuhi bintang-bintang, ditemani pula oleh rembulan yang purnama.
Dulu ia sempat berhenti berharap. Melihat Jean yang selama bertahun-tahun tidak mencoba membuka hati untuknya. Namun, setelah keributan itu, sesuatu di dalam diri Jean berubah. Membuat Al merasa keberadaannya tidak lagi dianggap pajangan semata.
"Permisi ...."
Al mengerjap. Tiga orang pria muda masuk dan tersenyum ke arahnya.
"Kami dikirim Thea kemari," ucap seorang yang tampak lebih dewasa dari yang lain.
"Oh, ya, ya ... kalian barista?" Al tidak mengira Thea bersungguh-sungguh dengan tawarannya. "Silakan, aku Al, pemilik tempat ini. Apa Thea juga mengatakan berapa lama kalian akan membantu di sini?"
"Dia bilang bahwa kami dipindahkan ke tempat ini."
Al mengernyit heran. "Tunggu sebentar," pintanya, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menghubungi gadis itu.
Beberapa kali berdering, Thea menjawab panggilannya dengan ramah. Seperti biasa.
"Al," sapanya lembut.
"Em ... aku baru saja kedatangan tiga barista, mereka bilang kalau kamu memindahkan mereka ke sini."
"Oh, ya, maaf, aku lupa memberitahumu. Mereka baru lulus dari sekolah barista milikku. Sudah melewati masa percobaan selama tiga bulan. Aku tidak tahu harus menempatkan di mana, karena di kafeku belum membutuhkan pegawai baru. Itulah mengapa aku mengirimnya ke tempatmu. Kamu keberatan?"
Mendengar penjelasan itu Al mengangguk kecil. "Tidak. Sama sekali tidak. Hanya saja ...." Al berjalan menjauhi ketiga anak muda itu. "... berapa aku harus membayar gaji mereka?" tanyanya setengah berbisik.
"Mereka masih pemula. Akan aku kirimkan melalui pesan, berapa gaji yang cocok untuk mereka."
"Syukurlah. Kamu tahu aku baru saja memulai." Al mendesah lega. Ia belum memiliki keuntungan yang cukup untuk membayar gaji barista profesional.
"Tenang saja. Aku pernah menjadi pemula."
"Terima kasih, Thea," bisik Al lirih.
"Tidak masalah."
"Ngomong-ngomong, aku belum melihatmu mampir beberapa hari ini."
Thea terdiam untuk beberapa saat. Ia tidak ingin Al tahu tentang perasaannya, karena itu akan menghancurkan kepercayaan yang ia terima dari pemuda itu. Menjadi teman lebih baik daripada harus benar-benar kehilangan.
"Thea ...?"
"Aku sibuk akhir-akhir ini. Lain kali aku pasti mampir. Lagi pula, kamu sudah tidak membutuhkan bantuanku lagi."
Al mendesah pelan. Sudah lama ia menyadari ada yang berbeda dengan perasaannya terhadap gadis itu. Hanya saja, mengingat Jean dan Maleeqa membuatnya harus menahan diri. Ia tidak ingin menyakiti siapa pun, termasuk Thea. Gadis itu terlalu baik untuk dilukai.
"Jangan sungkan, Thea. Kamu tahu aku selalu membutuhkan bantuanmu," ucapnya jujur.
"Lain kali, Al ...." Tidak sanggup menahan beban rindu, Thea segera memutus panggilan itu. Membuat Al bertanya-tanya dan mengirim pesan singkat sebagai bentuk perhatian.
[Ada apa?]
Setelah pesan terkirim Al kembali menemui ketiga calon pegawainya. "Jadi ...." Ia berjalan mendekati mereka. "... terima kasih sudah bersedia bekerja di sini. Seperti yang kalian lihat, tempat ini masih baru. Aku membutuhkan segala bentuk kreatifitas kalian."
Ketiganya hanya mengangguk pelan. Mereka terlatih dalam bersikap, karena Thea bukan hanya membuka sekolah barista. Ia juga membekali mereka semua dengan sikap yang terpuji.
"Aku akan mulai membuka lantai atas hari ini. Jadi, aku butuh dua orang untuk di atas, satu orang bersamaku di bawah." Al menjelaskan.
Perhatiannya teralihkan oleh ponsel yang bergetar di atas meja. Sebelum membuka pesan yang masuk, ia kembali fokus kepada pegawainya. "Siapa namamu?" Al menunjuk satu yang paling tinggi di antara mereka.
"Abi, Pak," sahutnya sopan.
"Apa aku seperti pria paruh baya?" tanyanya yang kemudian disambut tawa para barista. "Panggil aku Al. Bersikaplah biasa, aku bukan bos kalian, aku teman kalian dan bersama-sama kita menjadikan tempat ini lebih baik dari yang lain."
Setelah selesai dengan perkenalan dan pembagian tugas, Al meminta mereka memulai pekerjaan ketika pintu mulai dibuka oleh pelanggan.
Al memilih duduk di ujung bar dan melepaskan baristanya bekerja. Dibukanya pesan yang tadi belum sempat ia baca. Balasan pesan dari Thea.
[Tidak ada apa-apa, hanya memberimu jarak untuk memperbaiki kehidupan bersama Jean.]
Membaca itu membuat Al mendesah berat. Ia merasa ada sesuatu yang perlu diluruskan, tetapi tidak tahu apa masalahnya.
[Kehidupanku baik-baik saja, Thea. Aku senang kamu membantu, karena tanpamu aku tidak akan pernah bisa memulai semua ini.]
Sementara di tempatnya, Thea bersandar di kepala ranjang dengan napas berat. Ia merasa Al tidak akan pernah mengerti apa yang dirasakannya.
[Kamu salah, Al. Kamu memang berbakat, kebetulan saja aku sedikit berperan. Jangan rendahkan dirimu sendiri.]
Gadis berbulu mata lentik itu turun dari ranjang. Berjalan mendekati jendela dan menatap jauh entah ke mana. "Mungkin aku memang ditakdirkan untuk menelan kecewa setiap kali jatuh cinta," ucapnya lirih.
[Mampirlah kalau kamu tidak sibuk. Aku membuat menu sarapan baru. Leeqa juga terus menanyakan dirimu. Dia merindukanmu.]
[Aku berharap kamu juga merindukanku, Al]