Jean tersenyum menatap kado berukuran kecil yang sudah berada di mejanya selama tiga hari. Malam ini ia dan Al akan makan malam berdua untuk merayakan ulang tahun pemuda itu yang ke 22.
Sudah satu bulan hubungannya dan Al membaik. Hangat seperti pasangan pada umumnya. Meski ia tahu, tidak ada getaran yang lebih dari sekadar kagum kepada pemuda itu. Namun, tidak bisa ia mengingkari bahwa menyambut cinta Al dengan hangat juga menjadikannya bahagia.
Tepat pukul empat. Jean bergegas untuk pulang. Tidak lupa dimasukkannya kado berisi jam tangan itu ke dalam tas. Namun, baru saja beranjak dari kursi, pintu ruangannya terbuka. Yazza berdiri dengan wajah panik di sana.
"Yaz, ada apa?" tanya Jean dengan alis saling bertaut.
"PR yang kita utus untuk bertemu investor mengalami kecelakaan, Je."
Napas Jean tertahan sesaat. "Bagaimana keadaannya?"
"Dia sudah di rumah sakit dan mengalami patah kaki kiri. Tapi bukan hanya itu masalahnya." Pria 34 tahun itu menatap Jean dengan wajah pucat.
"Ada apa?" tanya Jean tak sabar.
"Ini adalah investor terbesar kita. Dia akan kecewa jika kita membatalkan pertemuan ini. Karena kedatangannya ke Indonesia hanya untuk membicarakan kerja sama dengan kita."
"Ada banyak PR di sini, kirim salah satunya untuk menggantikan." Jean coba memberi solusi.
"Hanya kamu yang paling baik dalam hal ini. Aku membaca laporan bahwa kamu pernah berhasil membuat orang itu menanam uangnya dalam jumlah besar di perusahaan kita?"
Jean mengangguk lemah. "Tapi aku ada janji malam ini," ucapnya lirih.
"Hanya sebentar, Je. Aku janji kamu akan pulang sebelum gelap."
Cukup lama Jean berpikir. Keduanya sama-sama penting. "Baiklah," ucapnya kemudian. Janji makan malam bersama Al pukul tujuh, ia yakin akan pulang tepat waktu.
"Siapa yang sedang berulang tahun?" tanya Yazza ketika mereka berjalan meninggalkan ruangan Jean.
"Maaf?"
"Aku melihatmu memegang kado itu sejak beberapa hari yang lalu."
Jean menghela napas pendek. "Baiklah, aku belum menceritakan padamu soal statusku. Aku sudah menikah, kado itu untuknya. Dia ulang tahun dan kami akan makan malam."
Yazza menghentikan langkah dan menatap Jean sungkan. "Maafkan aku mengganggu acaramu. Kamu boleh pergi, Je, makan malam ini penting untukmu."
"Tidak apa. Lagi pula dia akan mengerti."
"Benarkah?"
"Ya." Jean tersenyum tipis dan kembali melangkah. "Dia selalu mengerti," sambungnya.
Jean masuk ke mobil Yazza dengan ragu yang menari di benaknya. Ia takut Al akan kecewa karena menjadi public relation selalu menyita banyak waktu Jean sebelum ini.
"Tidak menyangka, aku akan kembali menjadi seorang public relation," ujar Jean ketika mereka sudah meninggalkan kantor menembus jalanan tengah kota.
"Hanya sekali ini saja, aku janji." Yazza menatap Jean dan menahan senyum.
"Ada apa?"
"Tidak. Hanya saja, aku tahu kamu kesal," ucap Yazza dan kembali fokus mengemudi.
"Aku tidak kesal. Ini adalah tanggung jawab."
"Suamimu juga tanggung jawab, bukan?"
Jean menghela napas pendek. "Sudahlah, fokus saja pada kemudimu, Bos!"
Yazza terkekeh. Ia tertarik kepada Jean sejak pertama kali bertemu. Wanita itu memiliki semangat kerja yang luar biasa, bertanggung jawab, juga sedikit manja. Kriteria yang diinginkan Yazza selama ini.
"Sudah berapa lama kalian menikah?" tanya Yazza lagi.