"Pulanglah. Jangan biarkan istrimu khawatir dan larut dalam rasa bersalah." Thea mengusap rambut Al hingga sedikit berantakan. "Jangan bersikap seperti anak kecil. Jean pasti punya alasan atas apa yang terjadi malam ini."
Al menunduk sangat dalam. Pukul sebelas malam, dan mereka masih duduk di sana. Sementara orang-orang mulai mengayunkan kaki untuk pulang, dan beberapa pedagang mulai menutup tirai.
"Aku tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana, Thea. Dia tidak pernah sekali pun melihat bagaimana hatiku."
Thea menghela napas panjang, mengusap lembut punggung tangan Al, kemudian menggenggamnya erat. "Wanita memang rumit, Al. Kamu harus terbiasa dengan itu ...."
"Aku sudah terbiasa, sangat terbiasa. Semakin aku diam, semakin dia bersikap seenaknya. Ini hatiku, Thea."
"Itu hatimu, maka hanya kamu yang bisa mengendalikannya. Pulanglah, kasihan Jean. Dia pasti sedang gelisah sekarang. Tebalkan lagi kesabaranmu, Jean hanya belum sadar kalau dia juga mencintaimu. Berjuang lebih keras lagi untuk memenangkan hatinya. Seperti batu yang akan habis tertimpa tetesan air, seperti itulah hati Jean kalau kamu lebih sabar lagi."
Al berdiri dan menatap langit malam di atasnya. "Bagaimana kalau jadinya justru seperti besi? Bukan habis, tapi justru berkarat dan semakin melukai."
Thea tertawa kecil. "Kalau kamu berpikir seperti itu, maka itulah yang akan terjadi. Ingatlah tentang seberapa jauh kalian telah berjalan bersama, apa saja yang sudah kalian lewati, dan apa saja yang kalian tinggalkan di belakang sana. Jangan biarkan semua menjadi sia-sia karena kesabaranmu yang terkikis hingga habis. Jadilah dewasa seperti biasa. Di mataku, kamu sungguh luar biasa, Al, dan aku yakin sebentar lagi Jean pun berkata begitu."
Al menatap Thea lama. Deru berisik di dadanya kini mereda setelah mendapat pegangan dari gadis itu. "Apa yang harus aku lakukan, Thea?" tanyanya lirih.
"Pulang, hampiri istrimu, peluk dia dan dengarkan apa penjelasannya. Kamu mungkin kecewa, tapi percayalah, Al ... dia pasti jauh lebih terluka dengan rasa bersalahnya terhadapmu."
"Maksudku, apa yang harus aku lakukan dengan hatiku?"
"Apa pun yang terjadi pada hatimu, hanya kamu yang tahu bagaimana menyelesaikannya," ucap Thea lembut.
Tiba-tiba saja Al merengkuh tubuh Thea ke dalam pelukannya. "Terima kasih, Te," bisiknya.
Thea memejamkan mata dan membalas pelukan itu ragu. Dadanya berdesir hingga membuat sebagian tubuh gemetar. "Sudahlah." Lembut ia melepas pelukan pemuda itu. "Pulang dan jadilah pria dewasa," ujarnya.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku membawa mobil, kamu pulanglah lebih dulu."
Al menggenggam tangan Thea lembut. "Ayo, aku antar kamu pulang," tegasnya.
"No, no, no, Al ... aku bisa pulang sendiri." Thea menahan langkah dan melepaskan tangan dari Al. "Kamu pulanglah, nanti aku akan memberi kabar setelah tiba di rumah."
Al mendesah pelan. "Baiklah. Tapi berjanjilah untuk memberi kabar, aku akan marah kalau kamu tidak menghubungi," ancamnya.
"Aku berjanji akan memberi kabar, Tuan," ucap Thea lagi untuk meyakinkan pemuda itu.
"Baiklah, Nona, aku pulang dan akan menunggu kabarmu."
"Berhati-hatilah di jalan, Tuan." Thea tersenyum melepaskan langkah Al.
Dengan berjalan mundur, Al mengerlingkan mata ke arah Thea. "Kamu juga, Nona."
Thea melihat kepergian Al dan bergegas menuju tempat mobilnya diparkir. Ada manis yang melekat di hatinya, ia sudah cukup puas menjadi sahabat bagi Al, ia tahu bagaimana rasanya memiliki kebahagiaan dan direnggut dengan paksa. Al dan Jean berhak memiliki yang lebih baik dari dirinya.
"Jadilah seperti merpati, Al. Sejauh apa pun pergi, ia akan kembali kepada pasangannya."
Banyak hati mudah sekali merasakan cinta, tapi hanya sebagian saja yang bisa memaknai cinta dengan cara dewasa. Al mencintai Jean dengan begitu bijaksana, ia juga mengagumi Thea dengan batas yang tidak melewati rasanya terhadap sang istri.
Yang Al tahu, ia nyaman berada di dekat Thea. Memiliki teman yang bersedia mengingatkan ketika melakukan kesalahan, bagi Al itu lebih besar dari sekadar jatuh cinta. Yang istimewa adalah, Al tahu Thea memiliki rasa terhadapnya.
Lampu di beranda kamar masih menyala ketika Al tiba. Dilihatnya Jean sedang berdiri di sana. Menunggu. Sejak tadi pandangan wanita itu mengarah ke jalanan, berharap Al kembali dan memberinya maaf.
Jean tidak turun. Ia tahu Al selalu bersikap dewasa, pemuda itu akan naik ke kamar dan menemuinya. Ia tahu itu.
Setelah memasukkan sepeda motornya ke garasi, Al bergegas naik ke kamar dan menemui Jean. Ia ingin menjadi dewasa seperti yang Thea katakan tadi.
Baru saja Al membuka pintu, Jean menyambutnya dengan pelukan erat. Lebih erat dari biasanya.
"Maafkan aku," ucapnya setengah berbisik. "Aku sangat merasa bersalah telah membuat kacau hari ulang tahunmu. Maafkan aku." Semakin erat Jean melingkarkan tangan di pinggang sang suami.
Al mendekap erat wanita yang sepenuh hati ia cinta itu. "Kamu tahu aku akan selalu memaafkanmu, Je."
"Aku mangacaukan ulang tahunmu." Jean mengangkat wajah menatap Al.
"Kita masih punya waktu untuk merayakannya, bukan?" Al menyentuh hidung Jean dengan hidungnya.