Jean terduduk lemas setelah membaca rencana perjalanannya ke Korea pekan depan. Impian menjadi seorang direktur telah tercapai, harapan menjadi ibu dan istri pun telah ia gapai. Namun, kini ia tidak tahu harus memilih apa yang menjadi prioritas.
Kehidupannya dengan Al dan Maleeqa mulai kehilangan banyak waktu. Jarang sekali ia menemani Maleeqa bermain, hingga tidak jarang bocah polos itu melontarkan protes dengan bahasanya.
"Kenapa Ibu tidak pernah masak sarapan untukku lagi?"
Mendengar kalimat itu tentu membuat Jean terdiam kaku. Beruntung, selalu ada Al yang menengahi.
"Karena memasak adalah bagian Ayah. Apa kamu bosan dengan sarapan yang Ayah buat?" Al memang selalu bisa mendinginkan keadaan.
Bukan tidak mencoba. Jean hanya merasa nyaman dengan lingkaran yang mengikatnya bersama Al. Ia takut, jatuh cinta hanya akan menghancurkan hubungan mereka.
"Kamu sibuk?" Yazza memasukkan kepala dari celah pintu.
"Hai. Tidak. Ada yang bisa aku bantu?" tanya Jean seraya memasukkan agenda pribadinya ke dalam tas.
"Boleh aku masuk?"
Jean tertawa kecil. "Ya, silakan."
"Ibuku ulang tahun hari ini."
Kedua alis Jean saling bertemu. Heran. "Em ... lalu?" tanyanya ragu.
"Aku tidak tahu harus memberikan kado apa. Kalau kamu tidak keberatan, maukah menemani aku mencari kado?" Yazza memasang wajah penuh harap. Ia tahu, dengan begitu Jean akan luluh.
"Kenapa harus aku?" tanya Jean lagi. Meski sudah cukup dewasa, Jean memang kurang peka terhadap sikap seseorang.
"Karena aku tidak punya teman. Karena ini ulang tahun ibuku yang ke enam puluh. Karena aku ingin memberinya yang paling istimewa."
Jean bersandar pasrah. "Baiklah," ucapnya dan menggelengkan kepala putus asa. Ia memang tidak pernah bisa menolak apa pun yang berhubungan dengan seorang ibu. Ia ingin sedikit mengobati kerinduan kepada wanita yang telah melahirkannya, yang hingga kini menolak menemui dan mengakui dirinya.
"Terima kasih." Yazza mencubit pipi Jean geram.
"Yaz, sakit!" Kuat Jean memukul tangan pria itu agar menjauh dari wajahnya.
"Apa aku menyakitimu?" tanya Yazza polos.
"Ya." Jean mengusap pipinya yang terasa panas. "Pukul berapa kita pergi?" tanyanya kemudian.
"Sekarang."
"Sekarang?"
Yazza mengangguk dan memainkan alis menggoda wanita itu. "Iya, sekarang."
"Baiklah. Tapi, kamu harus membeli makan siang untukku," ujarnya seraya memasang sepatu.
"Tidak masalah."
Keduanya pergi sebelum jam makan siang. Berharap kembali dengan cepat dan tidak menimbulkan gosip tak sedap. Di kantor itu, hanya beberapa orang saja yang tahu Jean sudah menikah. Sementara yang lain, mereka pikir Jean hanya wanita lajang penggila kerja.
***
Pukul tiga sore. Kafe masih cukup ramai oleh pengunjung. Al sudah mulai terbiasa, setelah berulang kali dibantu oleh Thea, ia tidak lagi terserang panik saat pengunjung datang memenuhi kursi dan meja yang kini berhias bermacam bunga.
Di beberapa sudut terdapat aromaterapi yang menguar sedap dari lilin yang membungkus rempah di dalamnya. Membuat siapa saja yang menghirup akan merasakan ketenangan.
Di atas, Thea membantu menata ulang. Tidak ada lagi jendela. Hanya dinding kaca yang dialiri air serupa rintik hujan yang jatuh perlahan. Menikmati kopi berteman rinai memang nikmat yang tiada dua.
Pun begitu dengan atap, tidak luput dari perhatian Thea. Ia membuat tempat itu berbeda dari kafe kebanyakan. Dengan tangga besi yang terletak di bagian luar, pengunjung bisa langsung naik dan memesan kopi di sana. Al menugaskan seorang barista baru di sana.
Hanya ada lima meja di atap. Diperuntukkan bagi mereka yang datang bersama pasangan dan benar-benar mencari ketenangan. Tepian atap ditanami banyak bunga. Bermacam warna. Menambah suasana romantis, lilin-lilin kecil menjadi satu-satunya sumber penerangan di setiap meja.
Selain lampu yang ada di meja bar. Hanya rembulan yang memberi terang tempat itu saat malam.
"Ayah ...!"
Maleeqa berlari dengan tas di punggungnya. Ia baru saja pulang dari membeli perlengkapan sekolah. Jean dan Al memutuskan untuk memasukkan Maleeqa preschool. Mereka kekurangan waktu menemani anak itu belajar. Setidaknya, di sekolah nanti putri mereka akan mendapat teman selain para barista di kafe.