"Yaz ...." Jean mengusap pundak pria itu lembut. "Lepaskanlah yang sudah pergi, jangan tangisi terlalu lama. Bukan air mata kesedihan yang diinginkan ibumu, melainkan kenangan yang tidak terkikis meskipun ia sudah tidak lagi di sini."
Yazza mengusap basah di wajah dengan kasar. "Ibu Juriah salah satu yang berulang tahun hari ini. Usianya tujuh puluh lima tahun. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan apa pun."
"Diucapkan atau tidak, orang yang telah pergi hanya ingin dikenang, bukan ditangisi."
"Thank's, Je ...."
"Don't thank me," tukas Jean. "Dia ibumu?" tanyanya kemudian.
Yazza mengangguk pelan. "Lebih dari sekadar Ibu. Kepada beliau aku menumpahkan semua sakit yang tersisa dari kematian ibuku. Beliau adalah teman, pendengar, dan motivator yang baik. Aku masih hidup dalam kekacauan kalau bukan karena beliau."
Jean diam. Ia sudah lupa bagaimana rasanya kasih seorang ibu. Ia bahkan tidak lagi merindukan mereka. Pernah sekali, tanpa sepengetahuan Al, ia pulang dengan membawa Maleeqa. Hanya berdua. Berharap disambut dan dipeluk penuh kerinduan. Namun, mereka masih sama. Keras.
"Kami sudah memutuskan bahwa kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini, Je."
Mendengar ucapan lelaki yang dulu paling menjaganya itu, Jean mengeraskan rahang dengan marah yang siap membeku menjadi benci. Mungkin juga dendam.
"Baiklah, Ayah, ini terakhir kali aku mengemis kepada kalian. Setelah aku keluar dari rumah ini, aku tidak akan pernah kembali bahkan jika salah satu dari kalian mati."
Bersama Maleeqa yang masih berusia dua tahun, Jean melangkah pergi dan berjanji untuk tidak kembali lagi. Tidak untuk hidup, tidak pula untuk pusara mereka.
Jean telah menutup hati begitu rapat. Meski ia tahu, tidak ada hubungan darah yang dapat diakhiri.
***
Maleeqa sedang duduk dengan buku gambar didekap di dada. Kakinya yang tak sampai menyentuh lantai, bergoyang-goyang bosan melihat sang ayah sedang membereskan meja bar.
"Ibu terlambat lagi," ucapnya polos.
"Ya. Tadi Ayah sudah menghubungi, ada pekerjaan lain katanya."
Maleeqa gadis kecil yang cerdas. Usianya belum genap empat tahun, tapi ia bisa menjadi teman bicara bagi Al. Maleeqa pandai menilai orang-orang yang ditemuinya.
Melihat putrinya termenung, Al mengeluarkan ponsel dan mematung ketika tidak mendapat kabar dari Jean. Al pasrah. Ia tidak ingin terlalu memaksa wanita itu.
"Ayah sudah selesai. Ayo kita pulang."
"Ibu bagaimana?"
Al mengangkat tubuh kecil Maleeqa dan mencubit lembut pipinya. "Ibumu bawa mobil, dia juga akan langsung ke rumah jika pulang terlambat."
"Aku bosan, Ayah, di rumah tanpa Ibu," ucap Maleeqa dengan kepala tertunduk lesu.
Al memutar otak, mencari akal agar putrinya tidak murung. Ketika matanya melihat gitar --yang dibelikan Thea sebagai kado kedua di hari ulang tahunnya-- ia tersenyum dan tahu apa yang harus dilakukan.
"Leeqa. Apa kamu tahu kalau Ayah pandai bermain gitar?" tanyanya seraya menurunkan tubuh kecil Maleeqa untuk duduk di atas meja.
"Kata Ibu, Ayah bisa bermain gitar, tapi aku belum pernah melihat Ayah punya gitar."
Al tersenyum. Ia ingat, dulu di rumah orang tuanya, ia bahkan memiliki studio mini. Tempat bermain band bersama teman-teman seusianya. "Ayah pernah punya gitar. Tapi sekarang, Ayah punya gitar dan punya kamu."
Maleeqa tersenyum senang mendengar pujian ayahnya. Semua orang akan dapat melihat betapa besar cinta gadis kecil itu untuk lelaki yang mengorbankan hidup demi dirinya. Mungkin Maleeqa tidak akan pernah tahu, atau mungkin suatu hari kebenaran akan terbuka. Kenangan manis sepanjang hidupnya bersama Al akan menjadi penawar untuk kecewa yang akan datang.
"Bagaimana kalau kita ke atap dan menghabiskan malam di sana?" tanya Al setelah gitar ada di tangannya.
Maleeqa mengangguk senang. "Aku akan menyanyi dan Ayah akan bermain gitar," serunya diiringi satu tangan terangkat ke udara.
"Lagu apa yang akan kita nyanyikan?"
"Aku bernyanyi bersama Tante Thea sepanjang jalan sepulang dari belanja tadi."
"Benarkah?" Al menggendong Maleeqa ke luar kafe. "Lagu apa yang kalian nyanyikan?" tanyanya lagi.
"I close my eyes and I can see
The world that's waiting up for me
That I call my own ...."
Maleeqa menyanyikan penggalan lagu itu dengan suara khas balita. Namun, sangat jelas dan merdu didengar.
"A Million Dreams ...," ucap Al dan bersama sang buah hati ia manaiki tangga menuju atap.
"Bukan, Ayah," bantah Maleeqa.
"Ayah yakin itu judulnya."
"Bukan!"
Al menatap putrinya dengan mata mengecil penuh selidik. "Jangan keras kepala. Ayah tahu itu judul lagunya," ucapnya dengan penuh penekanan.
"Aku lupa itu lagu apa, tapi bukan A Million Dreams," ujar Maleeqa dengan penuh keyakinan.
"Baiklah." Al meletakkan Maleeqa di ayunan rotan. "Bagaimana cara kita membuktikannya?" tanyanya.
"Hubungi Tante Thea, dia tahu bukan itu judulnya."
Al mendesah pelan. "Ini sudah pukul sepuluh, Tante Thea pasti sedang istirahat. Kita tidak akan mengganggunya ...."
"Ayah!" Maleeqa mulai kesal. Ia persis seperti Jean, tidak ingin mengalah atau menang tanpa jawaban. Ia harus tahu siapa pemenang di antara mereka untuk mengakhiri argumen.
Putus asa. Al mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan menggeleng pelan. "Aku hidup dengan dua wanita keras kepala," gerutunya. Dicarinya nomor Thea dan segera menghubungi gadis itu.