"Bagaimana kalau kita pergi berlibur bersama?" Al membuka suara ketika sedang menikmati sarapan di meja bar bersama Jean. "Kita belum pernah benar-benar berlibur bertiga," sambungnya.
"Aku setuju. Hanya saja, aku harus mengatur waktu terlebih dahulu."
Al tersenyum seraya menelan roti terakhir di mulutnya. "Cari waktu yang tepat, selebihnya biar aku yang urus," ujarnya penuh keyakinan.
"Em, Al ...." Jean meletakkan sendok dan menjauhkan piring dari hadapannya. "Aku ada perjalanan kerja ke Korea selama sepekan." Ragu ia menggigit bibir bawahnya.
Untuk sesaat Al hanya terdiam. Ia merasa tidak pernah memiliki keberanian untuk membatasi langkah Jean. "Kapan?" tanyanya singkat.
"Besok."
"Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?" Kening Al mengernyit menatap sang istri.
"Ya. Aku baru mendapat kabar dua hari yang lalu. Maaf."
Al berdiri dan meletakkan piring sisa sarapan mereka di mesin pencuci. "Tidak masalah. Hanya saja, besok adalah hari pertama Leeqa masuk sekolah. Dia sangat ingin kita mengantarnya bersama."
Jean mendesah pelan. "Al ...."
"It's okay, Je, nanti aku yang akan menjelaskannya kepada Leeqa." Al tersenyum hambar. Percuma apa pun yang ia katakan, wanita itu akan tetap melangkah ke mana hatinya mengarahkan.
"Terima kasih." Jean berdiri dan mencium pipi Al lembut. "Aku berangkat sekarang," ucapnya kemudian.
Getir rasa hati Al melihat Jean melangkah dengan senyum mengembang di wajah. Wanita itu sama sekali tidak melihat rasa keberatan di wajah Al.
"Baiklah, baiklah," gumam Al lemah. Kemudian menghadap tempat-tempat kopi dan mengisi kembali beberapa yang mulai kosong.
Sudut mata pemuda itu mulai berkaca-kaca. Ada sakit yang ia rasa setiap kali menyadari hati Jean yang belum sedikit pun terbuka. Bukan, bukan hatinya yang tidak terbuka, tapi pemiliknya yang menolak untuk membuka.
"Bodoh. Bagaimana bisa aku meraih bintang yang letaknya begitu tinggi?"
Kasar Al meraih apron dan mengenakan hingga menutup bagian depan tubuhnya. "Kamu tidak salah, Je. Akulah yang bersalah karena begitu besar mencintaimu," gumamnya lagi.
"Ayah, di mana Ibu?"
Al tersentak dan segera menghapus basah yang hampir saja jatuh ke pipi.
"Ibu sudah ke kantor, Sayang," ucapnya seraya mengusap lembut kepala Maleeqa.
"Tapi buku menggambarku ada di mobil Ibu ...." Tangis Maleeqa pecah. Ia benar-benar tidak bisa lepas dari perlatan menggambar.
Al memukul kening kuat. "Maaf, Ayah lupa. Bagaimana kalau kita ambil yang ada di rumah?"
"Itu untuk sekolah. Aku belum mau memakainya," ucap Maleeqa di sela tangis. "Aku mau buku gambar," sambungnya setengah berteriak.
"Oke, jangan berteriak, Ayah akan menyusul ibumu ke kantor." Al meraih kunci motor dan meninggalkan Maleeqa yang masih terisak.
***
Jean baru saja tiba dan bertemu Yazza di parkiran. "Hai, Yaz," sapanya ramah.
"Hai, Je," sahut Yazza parau.
Jean menghela napas. Ia tahu Yazza masih berduka, terlihat jelas mata pria itu merah dan bengkak. "Hei, ikutlah ke ruanganku," ucapnya seraya mengusap lengan Yazza lembut.
"Ada apa?"
"Ikut saja."
Lemah langkah Yazza menyusul Jean menuju lift.
"Masih menangis?" tanya Jean lembut.