"Al, aku berangkat." Jean mencium kedua pipi Al bergantian. "Jangan terlalu merindukan aku," ucapnya diiringi senyum mekar.
Al hanya tersenyum. Ia tidak ingin Jean tahu apa yang pernah dilihatnya. Menurutnya, untuk sementara hidup berjauhan akan sedikit membantu. Memilah rasa dan ke mana hubungan mereka akan bermuara.
"Leeqa ...."
Maleeqa beranjak menjauhi sang ibu.
"Hei, Ibu hanya pergi beberapa hari. Mau oleh-oleh apa?" tanya Jean kepada gadis kecilnya yang merajuk.
Pukul lima sore mereka semua terjaga untuk membantu Jean bersiap. Tidak sekali pun Maleeqa membuka suara. Bocah itu mulai merasa kesal pada kesibukan ibunya.
"Leeqa, cium Ibu, Sayang," pinta Jean seraya memberikan pipi kepada putrinya.
"Aku tidak mau."
"Leeqa." Al membuka suara. Ia ingin Jean segera pergi agar merasa tenang dan tidak perlu menyembunyikan lagi kekesalan dari wanita itu.
"Tapi, Ayah ...."
"Cium ibumu. Jangan sampai dia terlambat ke bandara."
"Kamu dengar apa yang Ayah katakan?" Jean mendekat dan menangkap tubuh gadis kecilnya. "Maaf, Ibu tidak bisa mengantarmu ke sekolah," bisiknya.
Maleeqa tidak menjawab. Ia hanya diam ketika Jean mencium pipi dan keningnya.
"Aku pergi dulu. Jangan lupa jaga dirimu," ucap Jean lagi kepada Al.
"Ya. Jaga dirimu di sana." Al mengusap kepala sang istri lembut. "Dengan siapa kamu pergi?" tanyanya kemudian.
"Oh, ya, aku lupa. Kemarilah."
Al melangkah mengikuti Jean menuju mobil yang akan membawanya ke bandara.
"Yazza," panggil Jean.
Kemudian darah Al terasa semakin mendidih melihat pria itu. Pria yang berada di pangkuan sang istri kemarin.
"Al, ini Yazza ... pemilik perusahaan tempatku bekerja. Dia yang akan menemani aku di Korea."
"Hai," sapa Yazza ramah.
"Pergilah. Hati-hati dan jaga dirimu." Al mengabaikan sapa ramah dari Yazza. Kemudian melangkah menjauhi mobil mewah yang tidak akan mampu ia beli.
Tidak ada yang menangkap amarah di wajah Al. Begitu pula dengan Jean, ia terlalu bersemangat untuk pekerjaan, hingga tidak memperhatikan sikap Al sejak kemarin.
Setelah mobil yang membawa Jean pergi, Al kembali ke kamar bersama Maleeqa. Ia duduk dan mencoba bersembunyi dari sang putri, agar tidak terlihat sedang menekan amarah. Hanya Maleeqa dan Thea yang bisa dengan mudah menangkap beban di wajahnya. Sementara Jean, terlalu egois untuk mencoba tahu.
"Ayah, aku masih mengantuk," rengek Maleeqa dengan mata setengah tertutup.
"Kembali ke kamar dan tidurlah. Nanti akan Ayah bangunkan pukul delapan." Al mencium lembut pipi Maleeqa dan melihatnya melangkah untuk berpindah kamar.
Lama Al berdiri di ambang pintu. Menatap ranjang yang ia dan Jean gunakan selama beberapa bulan belakangan. Langit-langit yang sering mereka lihat kala menghabiskan waktu menuju lelap. Juga jendela ... tempat menatap mentari pagi seraya berpelukan mesra.
"Palsu. Semua palsu," gumamnya geram.
Harapan yang sempat bersinar secerah mentari pagi, kini kelabu bagaikan mendung yang siap menumpahkan beban. Ia mulai merasa segala usahanya sia-sia.
Apakah yang lebih menyakitkan daripada tidak dihargai oleh orang yang dicintai?
Tidak ada bagi Al saat ini. Hatinya benar-benar terluka, dan entah penawar apa yang mampu mengobati hingga cerah seperti semula.
***
"Leeqa ... ayolah, ini hari pertamamu sekolah." Al berdiri dan berulang kali menyugar rambut dengan putus asa.
"Aku tidak mau sekolah. Aku tidak mau hanya Ayah yang mengantar." Gadis kecil itu duduk dengan tangan melipat di dada.
"Besok setelah Ibu kembali, Ayah dan Ibu yang akan mengantar. Sekarang ...."
"Aku tidak mau, Ayah!"
"Oh, ya ampun." Al duduk di meja seberang putrinya. Berulang kali mengusap wajah putus asa. Merasa setiap wanita dalam hidupnya bersikap sangat menyebalkan. "Leeqa ...."
"Hai ...." Thea datang dengan wajah semringah. "Siapa yang sudah bersiap ke sekolah?" tanyanya.
"Dia tidak mau ke sekolah," ucap Al dan berdiri dengan tangan yang berulang kali mengibas ke udara.