Mellifluos - The Melody of Heart

Nia Dwi Noviyanti
Chapter #1

[1]

Bayreuth, 24 April 2018 

Alunan adagio dari sebuah piano terdengar indah pada siang itu. Harmoni lembut tercipta dari jemari yang bergerak lincah di atas tuts hitam-putih, membuat seseorang yang berdiri tak jauh dari sang Pianis berdecak kagum kemudian menyimak setiap irama yang ada. 

Sang Pianis menghentikan permainannya dengan sempurna, menatap sosok itu lalu bertanya pelan, "Apa yang ingin kau dengarkan selanjutnya?" 

Sosok itu membuka matanya perlahan. Memandang sang Pianis yang tersenyum lembut lalu menunduk, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. "Apa pun yang ingin Tuan Muda mainkan, saya pasti akan mendengarkannya," jawabnya mantap sembari menengadah. 

Sang Pianis yang dipanggil Tuan Muda itu tertawa pelan, memperhatikan pemandangan dari balik jendela besar yang membatasi ruangan pribadi miliknya dengan dunia luar. "Langit biru cerah, matahari yang bersinar lembut, angin sepoi-sepoi yang menggugurkan bunga dan daun hijau, juga sungai yang sudah tidak membeku .... Bagaimana jika 'Yiruma – River Flows in You'?" 

Mendengar salah satu lagu yang ia sukai disebut, tanpa sadar kepala gadis itu mengangguk antusias. Sadar karena sifatnya terlihat kekanakan, ia pun langsung membungkuk dan berujar pelan, "Maafkan saya, Tuan Muda." 

Pemuda itu tersenyum sedih, alisnya tampak turun melihat pelayan pribadi sekaligus teman masa kecilnya meminta maaf pada hal sekecil itu. "Tidak apa-apa." Ia mengembuskan napas. "Kau tidak perlu meminta maaf karena hal itu dan seharusnya kau bisa bersikap santai padaku." 

"Saya tidak bisa, Tuan Muda." Ia menatap netra hitam itu lekat. "Seperti yang selalu saya katakan, ini adalah protokol." 

Pemuda itu mengembuskan napas kembali lalu menunduk. Menyentuh lembut tuts putih lalu menekannya perlahan, menimbulkan nada rendah yang terdengar indah sekaligus sedih. "Dan seperti yang selalu kukatakan, aku tidak suka protokol itu." 

Gadis itu menggigit bibir pelan. Meremas gaun hitam yang ia kenakan dan bergumam, "Tapi—" 

"Sudahlah." Pemuda itu menggeleng pelan dan menarik napas dalam. Mempersiapkan setiap sel tubuhnya untuk melanjutkan permainan piano yang sempat tertunda. "Lebih baik kita lanjutkan saja, bagaimana?" tanyanya lembut dan dijawab dengan anggukan pelan. 

Jujur, gadis itu merasa tidak enak hati. Sudah ribuan kali ia mendengar Tuan Mudanya menentang protokol dan ingin bersikap santai layaknya teman. Namun, protokol tetaplah protokol. Dan apa artinya seorang pelayan dibandingkan dengan Tuan Mudanya yang sangat berharga itu? 

Ia menggeleng kuat. Menetapkan hati bahwa ia tidak boleh terjatuh ke dalam hubungan yang seharusnya tidak terjadi. Ya, ia akan menahan diri. Menahan perasaannya yang pertama kali muncul dua belas tahun yang lalu dan semakin membesar itu. 

Matanya mulai beralih pada Tuan Mudanya yang mulai menekan tuts putih, note A. Penekanan yang halus pada lagu bernuansa klasik itu menimbulkan sebuah eufoni dan perlahan menjadi kesatuan harmoni. Menciptakan nada elegan dengan romantisme di dalamnya. Gadis itu ikut menyanyikan lagu tersebut secara diam-diam, liriknya menggambarkan kata-kata yang ingin ia ucapkan pada sosok di hadapannya.

You are not the fool, no

You are a beautiful one

You are like the sun

Cause this one river flows in you

Jemarinya mulai menekan tuts dengan tempo yang lebih cepat. Membuat siapa pun yang mendengarnya mulai tenggelam pada melodi utama. Sebuah keindahan serta ketenangan yang dihasilkan memanjakan indra pendengaran, meneduhkan hati siapa pun bersama keheningan. 

Dalam pandangan sang Pianis, semua itu berubah menjadi pancawarna. Netranya melihat setiap nada yang berubah menjadi warna-warni indah dan tengah menari-nari di udara. Saling melebur dalam perbedaan kontras menuju selaras, lalu berubah menjadi keelokan yang hanya dimengerti olehnya. 

Suara pintu terbuka membuat gadis itu menoleh pada sumber suara, melihat kepala pelayan yang berusia lebih dari setengah abad sekaligus ayahnya itu memberi sebuah isyarat padanya. Ia pun mengerti kemudian menepuk pundak sang Pianis yang seketika menghentikan permainannya. 

Ia menatap penuh tanda tanya pada gadis itu, lalu membalikkan badan dan bertemu pandang dengan sang Kepala Pelayan. 

"Masuklah." 

Setelah mendengar Tuan Muda itu memberi izin padanya, ia pun melangkah masuk dan menunduk tanda hormat. 

"Ada apa, Tuan Larry?" tanyanya. 

Lihat selengkapnya