Mellifluos - The Melody of Heart

Nia Dwi Noviyanti
Chapter #2

[2]

Bandung, 27 Mei 2018

Seorang gadis yang duduk di kursi paling pojok serta terlihat muram itu sudah membenamkan wajahnya ke meja cukup lama. Sesekali membenturkan dahinya dan mengeluh. Membuat puluhan sorot mata di kantin yang cukup ramai itu beralih padanya dengan pandangan yang bermacam-macam.

Walaupun ia dapat merasakan tatapan yang terasa menusuk itu, dirinya tidak peduli karena ada hal yang lebih penting untuk dipikirkannya. Ya. Nilainya.

"Aduh, Sarah ...," rutuknya, "kenapa kamu bodoh banget, sih?"

Ia kembali mengembuskan napas kasar kemudian membenturkan dahinya, tampak agak memerah. "Bodoh. Bodoh. Bodoh. Jatah uang saku bakal dipotong kalau aku ketahuan Mama." Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Tapi, nanti juga Mama pasti bakal tahu." Tatapannya perlahan berubah horor membayangkan kehidupan normalnya yang akan berubah dan harus menghemat uang dua kali lipat. "Nooo! My life is over!" teriaknya sembari merentangkan kedua tangan ke atas seolah tengah mengadu mengapa ia harus hidup seperti itu.

"Makanya belajar," sinis gadis lain yang memukul kepalanya dengan botol mineral. Ia pun duduk di hadapannya dan minum dengan tenang.

Gadis yang mengaduh kesakitan itu mendengus, "Apaan, sih, Put. Ganggu saja."

Lawan bicaranya itu tertawa pelan sembari menutup kembali tutup botol tersebut. "Yang ganggu siapa coba. Perasaan kamu, deh, Sarahku tersayang," ejeknya. "Suara kamu gede banget, tahu."

Gadis bernama Sarah itu melihat sekitar kemudian tersenyum kikuk. Tubuhnya pun bereaksi untuk membuat postur meminta maaf dan akhirnya pandangan yang menatapnya sedari tadi mulai teralihkan.

"Jadi, kenapa kamu galau nggak jelas?" tanya gadis bernama Putri sembari membenarkan kacamata berbingkai hitamnya. "Masalah cowok?"

"Bukan cowok," keluhnya. "Nilai."

"Lagi?" tanya Putri tidak percaya. "Kamu nggak pernah kapok sama pelajaran, ya. Dapet nilai kecil mulu."

Sarah membuka mulutnya tak percaya kemudian mengambil botol mineral dan memukul kepala sahabatnya dengan itu. "Enak saja kalau ngomong ya, kamu. Seenggaknya di olahraga, seni, sama tata boga aku masih dapet nilai A—"

"Yang lain?"

Gadis itu memainkan rambut hitam panjangnya kemudian bergumam pelan, "Beberapa B, tapi pelajaran IPA-nya C."

Sahabatnya itu mengembuskan napas berat. Jarinya mengetuk meja dan salah satu tangannya meremas rambutnya yang terkuncir itu. "Kamu padahal anak IPA. Tapi, kenapa semua pelajaran IPA-nya malah nggak bisa."

"Aku bukan satu-satunya, kok," dalihnya. "Teman sekelasku banyak yang protes kalau pelajaran IPA itu susah-susah."

Putri menatapnya datar. "Terserah kamu saja, deh." Ia kembali minum dan bergumam, "Itu karena kamunya juga yang nggak merhatiin guru."

Gadis itu pun kembali membenamkan wajahnya ke meja. "Ini semua gara-gara dia."

"Kenapa?" tanya Putri, pura-pura heran. "Bukannya kamu nerima tantangannya, ya?"

"Ya, tapi kalau buat tantangan seharusnya dia tahu kemampuan otak aku di mana. Kenapa dia nggak nantangin aku masuk jurusan seni saja, sih."

"Gitu lagi." Gadis itu memilih memalingkan wajahnya. Kumpulan kakak kelas popular lebih menarik baginya saat ini. "Kamu cita-citanya apa?"

"Jadi arsitek atau teknik sipil," jawabnya dengan tersenyum polos.

"Pengen mukul kepala kamu lagi dengarnya."

Gadis itu buru-buru melindungi kepalanya. "Jangan, nanti aku tambah bodoh gimana?"

"Iya, sih. Bener juga." Gadis berkacamata itu mengangguk sekaligus membuat sahabatnya membulatkan mata. "Yasudah. Daripada bahas nilai kamu yang jeblok itu, mending kita bahas berhang saja, gimana?" ajaknya sembari tersenyum penuh arti pada sahabatnya.

Sarah yang tadi sempat terlihat kesal pun langsung berubah antusias mendengar sahabatnya itu mengucapkan kata berhang. Bagaimana tidak? Sahabatnya itu adalah salah satu jurnalis terbaik sekolah dan kini ia akan membagi info penting yang tak pernah ia beritahu kepada siapa pun—termasuk tim jurnalistiknya sendiri—selain dirinya, dan mereka menamakan hal itu sebagai 'Berhang'. Berita hangat.

Putri pun langsung bangkit dan berpindah menuju samping gadis itu. Setelah memperhatikan kanan dan kiri, ia pun berbisik, "Tadi, kan, aku habis dari ruang guru."

Sarah mengangguk mantap.

"Terus aku dengar kalau nanti tahun ajaran baru di angkatan kita ada murid pindahan dari Jerman yang bakal ambil jurusan seni."

Sarah menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan.

"Terus katanya," gadis itu tersenyum, "dia ganteng."

"Sumpah!?" Sarah tidak bisa menahan volume suaranya dan kembali menjadi pusat perhatian. "Serius? Akhirnya cogan di sekolah kita bertambah!" pekiknya dengan suara tertahan.

"Eits, masih ada yang lebih penting," goda Putri yang membuat Sarah kembali membuat postur saya-siap-untuk-menerima-info dan berbisik, "Dia menang kompetisi piano di Jerman." Sarah kembali membuka mulutnya lebar-lebar. "Tingkat Internasional."

Dan kantin pun kembali dihiasi oleh teriakan gadis itu.

Lihat selengkapnya