Suara tawa dua anak lelaki yang berlarian di padang rumput itu mengukir senyum kedua sosok yang duduk tak jauh dari mereka. Mereka saling berpandangan dan melempar senyum, kemudian kembali memperhatikan dua buah hati mereka yang kini berbaring di atas rumput karena kelelahan.
Sosok pria dewasa bersurai hitam dengan wajah khas asia itu mulai bangkit dan ikut berbaring di antara keduanya. Membuat sang kakak terkikik geli, sedangkan sang adik langsung berguling lalu memeluk tubuhnya
"Ayah ...," panggil anak yang tadi berguling sembari menarik kaus biru tua milik pria itu. "Rafa Lapar."
"Rafael juga," seru satunya kemudian bangkit dan menarik jemari ayahnya dengan kedua tangan mungilnya.
"Baiklah, baiklah." Ia pun bangun kemudian mengenggam tangan kedua anaknya lalu berjalan pelan, mencoba menyamai langkah kecil mereka. "Ibu membawa bretzel, kalian suka?"
Keduanya mengangguk mantap.
"Kalau begitu, ayo kita temui Ibu secepatnya!" serunya membakar semangat kedua putranya.
"Ayooooo!"
"Ayo!"
Genggaman kedua tangan mungil itu pun lepas bersamaan dengan kaki mereka yang mulai berlari lebih cepat ke arah sang ibu. Wanita itu pun tersenyum. Mengerti bahwa mereka pasti lapar setelah bermain hingga siang.
Sembari berlari, kedua anak itu sudah membayangkan bagaimana kelezatan bretzel siap memanjakan lidah mereka. Bentuknya yang unik, yaitu pita dengan warna cokelat eksotis ditambah dengan taburan garam, bubuk wijen, dan bij bunga matahari membuat siapa pun ingin segera menyantapnya.
Canda tawa pun kembali terdengar di padang itu. Disaksikan oleh gemerisik dedaunan hijau yang kini menggugurkan diri bersama angin yang berembus. Rafa, anak paling kecil dan sangat ceria itu memakan bretzelnya dengan sangat lahap sehingga beberapa kali tersedak. Lain lagi dengan Kakaknya yang terpaut satu tahun lebih itu yang memilih diam ketika makan sembari terus memberikan minum kepada adiknya setiap kali tersedak.
Orang tua mereka hanya melihat sembari tertawa kecil. Sungguh, mereka sangat beruntung memiliki kedua putra yang walaupun berbeda kepribadian, tapi selalu melengkapi satu sama lainnya.
"Ayah! Ha-bish ini kitha ke-na?" tanya Rafa kecil dengan mulut penuh sandwich. Mata hazelnya berbinar senang seolah tidak sabar untuk kembali bermain.
"Habiskan dulu makanannya, Rafa," tegur ibunya lembut seraya mengusap remah-remah pada pipi anaknya.
"Habis ini Rafa tidur siang sama Ibu." Pandangan Ayahnya beralih pada sang Sulung. "Ayah akan jalan-jalan dengan Kakakmu. Berdua. Saja."
Rafael kecil membulatkan matanya sedangkan adiknya mulai meraung tidak setuju. "Ayah jahat! Rafa juga mau ikut!"
"No, no." Ia mencubit gemas hidung putra kecilnya. "Rafa di rumah dengan Ibu saja, ya? Ini akan menjadi salah satu kado spesial untuk Kakakmu. Sebentar lagi, kan, dia ulang tahun.”
Mendengar kata kado, anak kecil yang sedari tadi diam mulai angkat suara, "Apa? Kado apa?"
"Kita akan menonton konser piano di Bayreuth Festspielhaus!" ungkapnya penuh semangat yang memunculkan rasa terkejut pun rasa bahagia pada mata hitam jernih milik keduanya.
Rafael kecil pun tertawa senang kemudian memeluk dengan melingkarkan lengan di leher ayahnya. "Benarkah? Terima kasih, Ayah!"
Melihat keduanya akan menonton konser piano—yang menurutnya sangat membosankan—Rafa kecil hanya mendengus kemudian memeluk ibunya, tak mau kalah dengan mereka. "Rafa sama Ibu saja. Nanti Ibu cerita dongeng baru, ya?" pintanya yang membuat wanita itu tersenyum serta mengelus puncak kepalanya.