Aku lahir dua puluh lima tahun yang lalu di kota pelabuhan Surabaya, kota kedua terbesar di Indonesia. Orangtuaku telah menunggu lebih dari lima tahun untuk memiliki seorang anak sehingga ketika mamaku tahu bahwa dirinya hamil, kedua orangtuaku melonjak dalam kegembiraan tak terperi.
Seperti ibunda Putri Salju, mamaku berdoa agar aku diberkahi kesempurnaan yang dapat diberikan oleh langit dan bumi. Tak seorang pun pernah memikirkan implikasi dari memiliki anak yang demikian berbakat, khususnya jika dia adalah bagian yang terputus dari permadani yang tercabik. Tuhan mengabulkan permintaan mamaku dan demikianlah hidupku dalam kesepian dan kesunyian dimulai.
Aku menilai diriku sebagai anak yang bijaksana dan dewasa sebelum waktunya. Anak yang sering merenung dan ingin tahu akan segala hal. Aku berumur empat tahun saat kali pertama belajar tentang sifat kehidupan yang fana.
Berita itu datang ketika aku tengah asyik bermain. Dengan raut muka yang sulit kuprediksi, Papa mengabarkan bahwa Akung1 telah meninggal, dan kami harus segera berangkat ke Tulungagung untuk menghadiri upacara pemakaman. Padahal, saat itu, aku masih ingat dengan jelas, bahwa hanya selang beberapa pekan sebelumnya, Akung duduk di sofa yang luas di ruang keluarga rumah kami, menggodaku dan sepupuku, Diana, tanpa ampun.
Saat itu Akung sangat sehat dan bersemangat dengan kesehatan yang sempurna. Apa yang terjadi dengan Akung dan mengapa aku tidak dapat melihatnya lagi?
“Dia telah berumur panjang.” Kudengar beberapa saudara berkata demikian.
“Akung, dia tidak pernah melihat kampung halamannya lagi padahal dia selalu ingin pulang ke Tiongkok,” kata seorang tua yang tak kukenal.
“Terguncang karena melihat keadaan istrinyalah yang telah mengakhiri hidupnya,” kata yang lain.
“Kematian”, “takdir”, “Tuhan” adalah kata-kata yang kudengar selama perjalanan panjang pergi-pulang Tulungagung. Orangtuaku tentu merasa bahwa aku masih terlalu kecil untuk diajak bicara tentang perasaan mereka. Dalam diam, aku berpikir keras dan merenungkan apa yang mereka maksudkan.
Aku kembali menghitung mundur. Beberapa minggu sebelum Akung meninggal, orangtuaku membawaku menengok Ama. Papa memberi tahu bahwa Ama terluka parah dalam kecelakaan tabrak lari. Ama harus dirawat di rumah sakit. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa ia akan sangat berubah hingga sulit untuk dikenali. Separuh wajahnya kendur, tengkorak kepalanya hancur, dan ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun yang dapat dimengerti. Apa yang telah terjadi pada Ama-ku yang lincah, baik hati, dan giat?
“Apakah ia akan sembuh, Pa?” Aku ingat diriku bertanya kepada papaku.
“Tidak, Audrey, ia tidak akan pernah sembuh,” kata papaku, kesedihan terukir pada suara dan wajahnya.
“Ia tidak akan pernah bisa berbicara dengan jelas lagi, tidak akan pernah bisa berjalan dengan normal. Ia akan terus memerlukan kasih dan perhatian kita.”
Ama-ku hidup dalam kondisi demikian selama dua puluh tahun. Papaku mengatur agar seluruh kebutuhannya terpenuhi, agar selalu ada anggota keluarga yang menjaganya. Namun, Ama-ku telah berubah selamanya.
Ia tidak pernah bisa berbicara denganku lagi. Ia tidak bisa memelukku lagi dan memberitahuku betapa aku telah tumbuh besar. Ia hanya bisa tersenyum saat senang dan merengut saat tidak senang. Ama bahkan tidak dapat mengucapkan nama anak-anaknya sendiri dengan benar.
Peristiwa yang menimpa Akung dan Ama telah membuatku yang masih berumur empat tahun belajar mengenai kejamnya hidup dan takdir. Kemudian, aku membuat keputusan bahwa jika hidup demikian cepat berlalu dan tak terduga, aku akan memastikan untuk berbuat banyak hal besar sebelum waktuku habis.
Aku akan memastikan agar hidupku berarti dan berguna. Tidak akan ada penyesalan dariku saat jatuh sakit atau meninggal dunia karena aku telah melakukan banyak hal penting semasa hidup. Waktu itu, kusangka semua temanku mengalami hal yang sama dan pencerahan semacam ini adalah normal bagi orang seusiaku. Aku belum menyadari rasa malu dan bersalah yang datang dengan menjadi unik dan berbeda dalam lingkungan yang keras dan menghakimi.
Sejak itu aku mulai mencari arti hidup, dalam usiaku yang masih begitu belia. Bukankah hidup itu hanya sementara? Kematian serta penyakit pun dapat datang kapan saja. Aku mulai bertanya kepada mamaku tentang tujuan manusia menjalani kehidupan.
Meskipun raut mukanya terkejut dengan pertanyaan tak umumku, ia menjawab dengan sederhana, ”Tujuan hidup adalah berbahagia dan bersenang-senang sampai tiba waktunya Tuhan memanggil kita pulang.”
“Itu saja? Selain berbahagia dan bersenang-senang, adakah tujuan lain?” tanyaku lagi.
“Tidak. Itu saja. Sekarang berbahagialah!” katanya dengan manis.