Mellow Yellow Drama

Bentang Pustaka
Chapter #3

Cinta anomali

No matter what they said, my love was right.

Aku dilahirkan pada zaman kejayaan Orde Baru. Episode ketika sistem pendidikan di negara ini diseragamkan secara ketat. Sekarang ada kebebasan yang luas di bidang pendidikan, politik, dan pers. Namun, tidak ada yang peduli negara mau dibawa ke mana. Apa yang harus ditanamkan pada setiap tunas bangsa?

Sejak sekolah dasar, aku belajar untuk meyakini bahwa ada benang tak terlihat yang mempersatukan Indonesia, yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa benang pemersatu ini, Indonesia hanya tersisa di atas peta, terpecah belah dalam semangat “persatuan nasional”.

Setelah dewasa, aku menyadari penyalahgunaan ideologi negara dalam sistem pendidikan akan membawa malapetaka bagi negara. Pun bagi para individu yang bernaung di dalamnya. Semua idealisme Pancasila hanyalah omong kosong belaka jika hanya menjadi alat propaganda. Sementara itu, kenyataannya masih ada diskriminasi suku, agama, dan ras. Ilusi akan persatuan hanya menyisihkan hati nurani serta cita-cita luhur pendiri NKRI.

Apa arti “Kemanusiaan yang adil dan beradab” jika setiap hari orang hidup mewah di tengah samudra kemiskinan?

Aku lahir dan dibesarkan dalam komunitas yang cenderung eksklusif. Tidak pernah ambil pusing negara nasibnya runyam seperti apa, yang penting anak-anak mampu mengenyam pendidikan tinggi dan menikmati hidup yang nyaman. Ditambah lagi, saat itu sekolah-sekolah internasional mulai menjamur. “Pancasila” dan “Bhinneka Tunggal Ika” hanya dipelajari seperlunya, diajarkan sambil lalu. Aku menilai hal semacam itu menjadi pengkhianatan terhadap ideologi negara yang aku cintai sejak kecil.

Ketika aku kecil, banyak orang mengagumiku. Namun, nyaris tidak pernah ada seorang pun yang mengasihiku sebagai sesama warga negara. Aku sering bertanya kepada diriku sendiri, apakah sopir, pembantu, satpam penjaga kompleks, dan polisi memperlakukanku sebagai sesama warga negara? Apakah aku akan mampu mengajarkan kepada anak-anakku kelak untuk memperlakukan semua orang sebagai sesama warga negara? Atau, aku justru akan melanjutkan pengabaian terhadap lingkungan sekitar, sama seperti apa yang keluargaku lakukan terhadap masyarakat di sekitarnya?

Kaumku, warga Tionghoa, telah kehilangan banyak hal sepanjang Orde Baru: nama Tionghoa, bahasa Mandarin, kesadaran, dan kebanggaan budaya. Namun, di sisi lain, aku melihat keberadaan kami sebagai bagian dari Bhinneka Tunggal Ika. Itu artinya, kami harus menjunjung persatuan di tengah keberagaman.

Caraku berpikir dan bertindak (Tionghoa) bertemu dengan cara berpikir dan bertindakmu (pribumi) menghasilkan cara berpikir kita (NKRI). Dengan semangat itu, kita bisa berpikir dan bertindak sinergis. Begitulah seharusnya sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia yang beradab.

Ketidakadilan yang menimpa kaum Tionghoa tidak akan pernah selesai tanpa usaha membangun Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Segala pelanggaran terhadap budaya suatu kelompok tertentu berarti pelanggaran terhadap dasar negara. Koreksi terhadap pelanggaran harus dilakukan karena rasa cinta terhadap dasar negara.

Dasar inilah yang membuat kita menjadi INDONESIA. Sebelum kemerdekaan, satu-satunya faktor pemersatu bangsa adalah fakta bahwa wilayah kepulauan yang membentuk NKRI sama-sama bekas jajahan Kerajaan Belanda. Setelah kemerdekaan, wilayah yang didiami berbagai suku, agama, dan subkultur itu butuh pemersatu yang membuat NKRI besar dan berjaya.

Alangkah sedihnya hasil formulasi susah payah para pendiri NKRI hanya dihafalkan di buku paket sekolah. Pancasila tidak pernah dipraktikkan, apalagi dibela. Semua negara besar pasti memiliki musuh, baik internal maupun eksternal, walaupun negara tersebut sudah merdeka. Pada abad ke-21 ini musuh terbesar NKRI adalah ancaman perpecahan. Sebab utama perpecahan bukan semata intoleransi, melainkan miskinnya pengertian tentang makna INDONESIA.

Orang cenderung mengidentifikasi Indonesia dengan suku dan agama mayoritas. Ada dikotomi mayoritas terhadap minoritas secara politik, sosial, dan kultural. Sebaliknya, terdapat tirani minoritas terhadap mayoritas di bidang ekonomi dan perdagangan. Ancaman perpecahan itu bagai panci mendidih yang tutupnya setiap saat bisa terlepas.

Lihat selengkapnya