Melly pingsan setelah memanggil nama Nial.
“Ke rumah sakit, Ben!” titah Nial pada Beno, supir pribadinya.
“Siap, Bos.”
Nial harus membatalkan agendanya saat itu untuk menolong Melly, nyawa lebih penting dari segalanya, terlebih lagi yang sedang pingsan adalah gadis pujaan hatinya, bagaimana ia bisa mengabaikannya begitu saja? Tidak, Nial tidak akan mampu melakukannya. Nial menggendong Melly dan merebahkan tubuhnya di pangkuan Nial. Di tengah kekhawatirannya dalam perjalanan ke Rumah Sakit, Nial menerima sebuah telepon.
“Tunggu sebentar, aku lagi antar orang ke Rumah Sakit.”
“...”
“Kalau gak mau nunggu, cancel aja.”
“...”
“Ya udah, tunggu!” Nial berdecak kesal.
“Bos, gimana kalau saya yang antar perempuan itu ke Rumah Sakit, biar Bos bisa ke lokasi secepatnya.
“Gak usah ngatur, cepetan ke Rumah Sakit!”
“I—iya, Bos.”
***
Dua perawat selesai memeriksa Melly, tidak lupa memberitahukan keadaannya pada Nial. “Nggak apa-apa, Mas, pasien cuma kecapekan aja, biar istirahat dulu aja, hari ini udah boleh pulang kalau Dokter izinkan,” jelas seorang perawat kemudian pergi meninggalkan mereka berdua di ruang IGD.
“Kelihatannya kamu sangat khawatir dengannya? apa dia pacarmu?” tanya Dokter Riana mengagetkan Nial.
“Dokter, bukan begitu. Saya hanya mengaguminya. Semenlak mengenalnya, saya merasa hidup ini terasa berbeda, apalagi lagi dengan sikapnya yang lebih dewasa dari perempuan seusianya, dia adalah perempuan yang ingin saya lindungi,” ucap Nial menatap Melly yang masih belum sadarkan diri.
“Kamu bisa memegang janji?”
“Maksudnya?”