Lagi-lagi Melly harus bed rest total selama tiga hari. Pak Ilyas meminta Dokter agar putrinya di rawat di rumah saja karena Rumah Sakitnya lebih jauh, jika dirawat di rumah ia bisa segera pulang saat diperlukan. Sedangkan musuh bebuyutan masih harus bekerja sama untuk Melly. Nial setiap hari ke rumah Melly dan Rendy tidak punya pilihan lain. Kalau tidak ada yang menjaganya, akan semakin lama adiknya sembuh, kalau adiknya tidak segera sembuh, maka akan semakin lama Rendy menggantikan tugas-tugas Melly di rumah. Kakak seperti Rendy tidak pernah mau repot dengan urusan rumah tangga.
“Lu ngapain, woi, dasar mesum!” teriak Rendy sehingga Nial menoleh ke arahnya.
“Gue lagi jemur baju, gak usah bawel, bilang aja terima kasih!”
“Itu baju-baju Melly, lu cuci semuanya?”
“Emangnya lu mau nyuciin?
“Ya enggak lah, maksudnya itu kenapa sedalemannya, hah?!”
“Kalau gak dicuci masak sekali pakai buang, nanti kalau Melly nyariin gimana? Dikira aku nyuri punyanya, ah, udahlah, nih punya lu nyangkut satu.” Nial menunjukkan celana kolor milik Rendy.
“Sialan, sini, gue bisa jemur sendiri.”
“Gitu aja malu.”
Pemandangan yang langka, semenjak Melly ketahuan sakit, musuh bebuyutan itu sering bertengkar perihal Melly, tetapi tampak semakin akur dan menggemaskan. “Gitu dong, kan enak dilihat kalau akur,” ucap seseorang dari belakang.
“Melly? Ka—kamu udah sembuh?” ucap Nial bahagia sehingga melupakan apa yang sedang dilakukannya di jemuran.
Melly tersenyum mengangguk, tetapi seketika pudar, keningnya mengerut. “Siapa yang cuci dan jemur pakaianku?”
“Aku, Mel,” ucap Nial heran melihat raut wajah Mally yang mendadak berubah.
“Aaa, kenapa dicuciin?” teriak Melly histeris, menutup wajahnya dengan kedua tangannya karena malu dan berbalik badan.
“Ya, aku cuma mau bantu aja,”
“Tapi, kan.” Melly tidak melanjutkan ucapannya dan langsung pergi ke kamar untuk menyembunyikan wajah malunya. Bagaimana mungkin seorang gadis tidak malu ketika pakaiannya dicuci oleh lelaki yang disukainya.
“Keterlaluan, lu. Kalau sampai nangis, gue tonjok lu.” Rendy mengancam dengan kepalan tangannya.
“Omong doang, emang cuma lu aja yang punya? Nih gue juga punya,” balas Nial memamerkan dua kepalan tangannya.
“Masalahnya, lu beda sama kita, lu anak sultan, kita gembel. Wajarlah kalau semua baju lu sampe dalem dicuciin pembantu, kita beda, pasti malu parah tuh, hah gak peka, udahlah cari cewek lain aja sana, gak usah ngejar Melly!” Rendy kesal dengan kedunguan Nial.
Tanpa membalas ucapan Rendy, Nial pergi begitu saja menyusul Melly ke kamar.
“Astaga, lu mau ke mana?” Rendy menarik baju Nial berusaha menahan langkahnya.
“Minta maaflah.”
“Orang kaya tapi tolol, kalau lu ke sana sekarang yang ada Melly tambah malu.” Rendy memukul kepala Nial dari belakang.
Gelisah dalam diri Melly belum sirna, justru semakin bertambah rasa malunya tatkala pandangannya menangkap deretan pakaian yang bertengger di jemuran, secepatnya Melly menutup tirai jendela kamarnya.
“Ah, malu bangeeet. Gimana aku ngadepin Nial setelah ini? Privasiku udah kebongkar, astaga....” Gadis dengan piyama biru itu mengacak rambutnya kasar. Ia mengurung diri di kamarnya, tidak mau bertemu Nial.
Ada penyesalan dalam diri Nial, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya menunggu Melly tenang. Nial berspekulasi bahwa Melly pasti marah dengannya, karenanya ia pergi menyelesaikan tugas kuliahnya di sebuah cafe. Membuka laptop dan memeriksa beberapa file kemudian membacanya dengan teliti. Sesekali muncul kerutan di keningnya. Wajah yang semula mulai tenang itu kembali menegang tatkala dering handphonenya berbunyi.
“Huh, ya, hallo,” sapa Nial tidak bersemangat.
“Bagaimana kuliah kamu?” tanya seorang pria yang tak lain adalah Papanya.
“Tunggu sedikit lagi, ini akan selesai awal tahun, pastikan Papa datang dengan Mama, bukan dengan tante Sarah,” ucap Nial memberikan syarat.
“Sarah juga Mama kamu sekarang, Al.”
“Mama masih ada, kenapa harus tante Sarah? Dia itu mamanya Renata, bukan mamaku. Al lagi sibuk, nanti telepon lagi.” Nial menutup telepon begitu saja.