“Akhirnya, kamu bisa melakukannya, mewujudkannya, selamat, ya,” ucap Nial membuyarkan lamunan Melly.
“Eh, Al, udah dari tadi?”
“Baru aja, kok.”
“Hm, makasih, Al. Kamu udah banyak bantu aku, jaga aku supaya gak sering-sering tumbang dan akhirnya bisa sampai di titik ini.”
“Keberhasilan kamu, bukan karena aku, tapi karena usaha dan tekad kamu sendiri, aku cuma dukung impian kamu aja, gak banyak. Oh iya, aku suka kamu dengan kain itu.”
“Ah, ini, iya, makasih banyak support-nya selama ini.” Melly tersipu memegangi ujung hijabnya.
Melly memutuskan untuk memakai hijab semenjak magang. Ia bertemu dengan seorang pasien yang memberinya nasihat sangat menampar dan membuatnya sadar sehingga memutuskan untuk mengenakan hijab.
“Dok, Dok, bagus nggak hijabku? Ini hadiah dari bapak sebelum meninggal, aku harus pakai terus biar bapak gak masuk neraka, aku gak mau bapak masuk neraka, maunya masuk surga sama-sama, bu Dokter pakai juga dong biar masuk surga sama bapaknya bu Dokter,” celetuk seorang pasien anak berusia tujuh tahun.
Kata-katanya mengingatkan Melly pada ayahnya. Ia tidak ingin menyesali kelalaiannya di kemudian hari.
“Al, refreshing, yuk,” ucap Melly mengalihkan kilatan peristiwa itu.
“Boleh, kemana?”
“Ke tempat yang sudah lama kita tinggalkan karena kita semakin sibuk, hm, ke skatepark, yuk.”
“Ide bagus. Kapan terakhir kita main bareng?”
“Kayaknya setahun lalu, sebelum magang. Huh, pasti udah kaku lagi.”
“Kalau gitu nanti beli yang baru aja, deck sama truk-nya pasti udah gak bagus karena lama gak kamu pakai, apalagi kalau gak di rawat rutin.”
“Hehe, mana sempat ngelus-elus papan kalau pulang magang udah capek banget langsung tepar.”
“Ya udah, besok aku jemput, ya.”
“Oke, Al.”
***
Setelah sekian purnama, akhirnya ada waktu untuk sepasang kekasih tanpa restu itu untuk bersama melepas penat. Melly bersiap mengenakan celana dan hodie berwarna putih, tidak lama kemudian Nial datang menjemputnya menggunakan Honda Accord berwarna crystal black pearl. Wajah berseri penuh kebahagiaan terpancar dari keduanya.
“Ini dia, skateboard baru untuk dokter Melly.” Nial berusaha menggoda Melly.
“Ih, kamu jangan buat aku salting deh.”
“Haha, ayo mulai melaju, aku ragu kalau kamu masih bisa.”
“Nantangin, nih? Aku juga masih bisa ollie[1] tahu!” Melly kesal karena diremehkan, tetapi Nial malah terkekeh melihatnya.
Melly melakukan pemanasan dengan melaju beberapa saat untuk menstabilkan keseimbangannya, kemudian memutar boar dan terakhir ollie, tetapi dia gagal di percobaan pertama. Tentu saja Nial semakin kegirangan melihat Melly gagal, bibir ranum Melly semakin manyun kesal, sedangkan Nial masih saja terkekeh melihat tingkah Melly yang menggemaskan. Pada percobaan ke tiga, Melly berhasil melakukan trik ollie, akhirnya.
“Tuh kan, bisa, cuma butuh pemanasan aja,” pamernya dengan senyum kemenangan.
“Iya, deh, kamu emang jago. Huh, kalau aku beli tempat ini terus direnovasi, kamu mau sering-sering main di sini, gak?”
“Haha, bercanda, kan?”
“Aku serius, Mel. Atau aku beli Rumah Sakitnya aja?”
“Makin ngaco, kamu, ih.”
“Mel ... aku tuh sayang sama kamu, uang bisa dicari, tapi kamu? Kamu cuma satu-satunya di dunia ini, aku ingin selalu dekat sama kamu. Kalau saja kakak kamu gak melarang hubungan kita, pasti aku udah lamar kamu dari dulu. Huh, maaf ya belum bisa pinang kamu.” Nial menatap Melly tajam.
“Al ....” Tatapannya terbalas semakin dalam, nyaris mempertemukan dua wajah dengan bibir siap menyapa satu sama lain.
“Astaghfirullah.” Melly tersadar ketika mendengar suara klakson dari jalan raya.
Dua insan yang sedang dilanja asmara itu menjadi canggung. “Mel, maaf, a—aku gak bermaksud begitu, sorry.”
“Eh, iya, udah, gak apa-apa, lagian kan gak sengaja, gak kena juga.” Malu-malu Melly mengatakannya.
“Kalau gitu, kita makan dulu yuk, setelah itu aku antar kamu pulang.”
“Iya.”
Sore itu Melly dan Nial menikmati santapan ringan di cafe biru, bercanda tawa seolah dunia milik mereka berdua. Tanpa mereka sadari, dari luar cafe Rendy memperhatikan mereka berdua, menatapnya tidak suka. Ingin rasanya Rendy mencekik leher Nial karena kebenciannya yang tidak pernah pudar.
“Udah mau maghrib, Al. Pulang, yuk, nanti kena marah singa.” Melly menyelesaikan minumannya.
“Haha, singa, ya, ya, ayo kita pulang.”
Mereka pun pulang dengan perasaan bahagia. Namun, kekhawatiran Melly tak terelakkan. Rendy sudah menunggu kedatangan Melly di ruang tamu dengan wajah ganas seperti singa yang siap menerkam musuhnya. Melly yang melihat kakaknya siap menyemburnya dengan ocehan, ia menghela napas kemudian duduk di samping kakaknya.
“Kenapa lagi?” tanya Melly siap mendengarkan.
“Mas udah bilang berkali-kali, jangan ada hubungan sama si Al, tapi gak pernah nurut, masih aja jalan sama dia.”
“Melly bukan anak kecil lagi, Mas! aku bisa urus hidup aku sendiri, hidup aku ya pilihanku sendiri, gak usah atur-atur lagi. Urus hidup Mas sendiri!”
“Tuh, kan! Semenjak kamu dekat sama dia, kamu jadi berani ngelawan, mulai kurang ajar kamu.”
“Aku berani speak up gini karena aku gak salah dan jangan bawa-bawa Al, dia gak ada kaitannya sama sekali!”
“Kamu!” Tangan Rendy nyaris mendarat di wajah Melly, beruntung Ayah datang, jika tidak perang keluarga bisa saja terjadi.
“Assalamualaikum,” salam pak Ilyas sambil melepaskan sepatunya.