MELLYNIAL

Ifha Karima
Chapter #11

DILAMAR?

Nial sedang duduk berdua di restoran dengan seorang wanita. Tangan Nial terlihat menggenggam erat tangan wanita itu di atas meja. Wanita itu adalah Mamanya Nial.

Mereka sedang makan malam bersama dan berbicara tentang berbagai hal. Nial merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama ibunya, karena dia sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter residen.

“Mama gak perlu sembunyi kayak gini lagi buat ketemu aku. Aku bisa jemput Mama.” Nial memegang tangan seorang wanita yang mulai menua.

“Mama gak mau nyusahin kamu, Haris. Mama cuma pengen lihat kamu baik-baik aja, makan teratur, karir yang bagus dan teman perempuan yang tulus. Mama senang lihatnya, kalau suatu saat Mama pergi, Mama gak akan menyesal.”

“Ma, jangan bicara begitu. Mama harus hadir di pernikahan Haris nanti, Haris butuh restu dari Mama.”

“Kamu sudah dewasa, Nak. Mama bangga sama kamu. Makasih, ya, sudah bertahan sampai sekarang.” Ada perasaan bangga dan penyesalan menyatu, membuat kedua netranya memanas dan menitikkan air mata.

“Haris yang berterima kasih sama Mama. Haris bertahan karena ada Mama yang hebat, Mama yang kuat.”

Mamanya Nial tampak bahagia melihat putranya yang sukses dan berbakat sebagai dokter.

“Haris, mama sangat bangga denganmu. Kamu adalah seorang dokter yang hebat dan berbakat,” kata Mamanya Nial dengan lembut.

Nial tersenyum dan merasa senang mendengar pujian dari ibunya. Dia merasa bahwa dukungan dan cinta dari keluarganya adalah hal yang sangat berharga dalam hidupnya.

“Terima kasih, Ma. Aku sangat menghargai dukungan dan cinta Mama,” balas Nial dengan tulus.

Mereka melanjutkan makan malam mereka sambil berbicara tentang berbagai hal. Nial merasa sangat nyaman bersama mamanya, ini adalah waktu yang berharga bersama keluarganya. Nial merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama mamanya dan berjanji untuk lebih sering mengunjungi mamanya. Hubungan Nial dan mamanya sangat dekat, sampai perceraian itu terjadi, keduanya merasa sangat kehilangan. Setelah sepuluh tahun lamanya berpisah, akhirnya mereka kembali merasakan pelukan kasih sayang yang dirindukan.

“Haris, Mama gak bisa lama-lama. Jangan sampai papamu tahu kita bertemu. Mama belajar pakai facebook buat liat keseharian kamu, itu saja Mama udah senang.” Mama tersenyum. “Haris, nanti kalau kamu menikah, jadilah suami yang bijaksana. Perhatikan istrimu, rumah akan seperti surga atau neraka itu tergantung keadaan istri, tapi keadaan istri dipengaruhi oleh suami. Jadi, pastikan istrimu selalu bahagia agar rumahmu kelak bukan sekedar tempat singgah, tapi rumah yang selalu menjadi tujuanmu dalam keadaan suka maupun duka.”

“Nasihat Mama, akan Haris lakukan. Doakan Haris supaya dapat restu dari Papa dan keluarga Melly.”

“Mama selalu doakan kamu. Mama harus kembali ke Jakarta, kamu boleh main ke rumah Mama kapan aja.”

Al dan Ibunya pun kembali berpisah. Jarak kembali memberi sekat bagi keluarga yang tengah retak itu. Keduanya hanya berharap takdir membawa mereka pada keutuhan keluarga seperti yang diimpikan setiap orang. Namun, untuk saat ini mereka harus berjalan mengikuti arus yang berbeda untuk menuju muara yang sama.

***

Di bawah pohon yang rindang, Melly tampak sedang tidak bahagia. Ia melepaskan jaket putihnya kemudian duduk dengan kasar di sebuah bangku panjang berwarna putih. Melly berusaha memendam amarahnya dengan memejamkan mata dan menarik napas, berusaha mengontrol diri. Sejenak ia dapat merasakan semilir angin yang menerpa wajahnya, suara burung berkicau di sekitarnya dan suara samar-samar orang berbincang. Ketika dirasa hatinya sudah tenang, Melly membuka kedua matanya dan terkejut bukan main melihat ada penampakan tepat di depan wajahnya.

“Astaghfirullah. Al! Kamu bikin aku kaget, kalau jantungan gimana?!”

“Haha, sorry. Lagian kamu cantik, sayang kalau dilewatin gitu aja. Ngapain merem-merem di tempat umum? Kalau ngantuk, istirahat di dalam bukan di taman.”

“Huh, aku gak ngantuk. Lagi nenangin diri, abis ketemu lagi sama adik tiri sama Mama. Kebayang gak gimana aku nahan emosi tadi? Udah pakai nama kecilku, pamer kasih sayang, merasa gak berdosa lagi, kayak nganggep aku bener-bener orang asing. Kesel banget tau gak! Tuh kan jadi emosi lagi gara-gara ada kamu.”

“Ya udah keluarin aja semua unek-uneknya biar lega, keluarin sampah-sampah emosinya, jangan disimpen terus, nanti tempat sampahnya penuh membusuk, kamu yang kesiksa sendiri.”

Melly pun mengeluarkan semua keresahan dalam hatinya, sedangkan Nial hanya mendengar dan memperhatikannya tanpa bergeming, hanya membalas ucapan Melly dengan anggukan dan kata, “Iya.” Membiarkan wanita yang disukainya mengoceh, merengek, meluapkan setiap emosi yang dirasakannya. Menjadi orang yang dipercaya untuk mendengarkan keluh kesahnya, Nial merasa sangat senang. Itu artinya Melly percaya padanya. Betapa senangnya bisa melihat wajah bahagia, kesal, marah dan kesedihan dalam satu waktu. Cantik.

“Kamu tumbuh dengan kasih sayang dan menjadi dewasa karena rasa sakit. Sesekali kamu harus berterima kasih pada masalah, karena dia, kamu jadi belajar banyak hal dan jadi sekuat ini.” Nial berusaha memberi motivasi.

“Hm, aku lebih merasa kamu lagi ngomong sama diri sendiri,” balas Melly.

“Terkesan seperti itu kah? Hm, gimana ya, kayaknya kita memang ditakdirkan untuk mengalami ujian yang sama, punya tujuan yang sama dan hobi yang sama, menurutmu itu kebetulan?”

“Bisa jadi memang kebetulan.”

“Menurutmu begitu?”

“Iya, udah ayo balik ke dalam sebelum bucinnya kumat.” Melly meninggalkan Nial, khawatir dia mengucapkan kata-kata yang membuat jantungnya berdebar.

Lihat selengkapnya