Lana duduk di sudut ruang tamu apartemennya yang kecil, menatap cangkir kopi yang sudah mendingin di atas meja. Biasanya, aroma kopi itu akan membuatnya merasa nyaman, tapi tidak malam ini. Malam ini, semuanya terasa kosong, kecuali perasaan marah dan kecewa yang menggerogoti dirinya dari dalam.
“Lana, kamu nggak bisa terus-terusan curiga kayak gini!”
Suara Rian terdengar keras, memenuhi ruangan yang seharusnya menjadi tempat tenang mereka. Wajahnya memerah, dan mata cokelatnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kemarahan.
“Aku bukan curiga tanpa alasan, Rian!” Lana berdiri dari sofa, matanya menatap tajam pada lelaki yang selama ini ia cintai. “Sudah berapa kali kamu berbohong? Sudah berapa kali aku memaafkanmu? Aku sudah terlalu sering menutup mata.”
Rian mendengus, mengalihkan pandangannya sejenak sebelum menatap Lana kembali. “Ini hanya salah paham, Lana. Kamu selalu membesar-besarkan masalah. Aku hanya sibuk dengan pekerjaan, itu saja.”
Lana menggeleng, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Rian, meskipun hatinya terasa remuk.
“Pekerjaan? Atau perempuan lain?” tanyanya dengan lemah.
Rian terdiam sejenak, tetapi ekspresi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kebenaran. Selama ini, ia mencoba mempercayai Rian, mencoba untuk memberi kesempatan, tetapi kenyataannya selalu sama. Rian tidak pernah benar-benar berubah.
“Kita sudah pernah bicara soal ini, Lana. Aku hanya bergaul dengan teman-teman kerja, itu saja. Kamu selalu berlebihan.” Rian berusaha meredam situasi, suaranya mulai melembut, tetapi Lana bisa merasakan nada manipulatif di balik kata-katanya.
“Berlebihan?” Lana memotong, suara marahnya naik. “Kamu menghabiskan malam-malam bersama mereka, dan aku di sini, sendirian, menunggu dan berharap. Apa itu berlebihan, Rian?”
Keheningan yang menyelimuti mereka terasa menyakitkan. Tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit yang mengalir dalam hati Lana. Ia tahu bahwa pertengkaran ini bukan yang pertama, tetapi entah mengapa malam ini terasa berbeda. Seolah ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa diperbaiki lagi.
Rian menghela napas panjang, seolah merasa lelah dengan semua ini. “Aku nggak tahu lagi harus gimana, Lana. Kita selalu berdebat tentang hal yang sama.”
“Kamu yang membuat kita seperti ini!” Lana berteriak, merasa frustasi karena tidak tahu harus melakukan apa lagi. Ia merasa kehilangan kendali atas hidupnya, dan yang lebih buruk, ia kehilangan kendali atas hatinya.
"Aku tidak bisa terus seperti ini, Lana!" teriak Rian, suaranya membentur dinding seperti gelombang keras. "Kamu terlalu banyak menuntut! Aku butuh ruang."