MELODI HIDUPKU

Nenghally
Chapter #2

Toxic

Sudah beberapa hari berlalu sejak Lana mengetahui pengkhianatan Rian. Setiap detik terasa seperti siksaan. Air mata yang mengalir deras dan rasa sakit yang menusuk hatinya kini berubah menjadi kehampaan yang dingin. Ia tidak lagi menangis, hanya merasakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Meskipun begitu, semua tampak jelas sekarang, hubungan mereka sudah berakhir.

Hari itu, Lana mencoba menghubungi Rian untuk membicarakan semua hal yang terjadi. Namun, pesan-pesan yang ia kirimkan hanya berakhir dengan tanda centang biru tanpa balasan. Panggilan teleponnya pun tidak pernah diangkat. Dengan hati yang semakin cemas, Lana memutuskan untuk mengunjungi apartemen Rian, berharap bisa mendapatkan jawaban langsung.

Sesampainya di apartemen Rian, Lana berdiri di depan pintu, jantungnya berdetak kencang. Ia mengetuk pintu beberapa kali, namun tidak ada jawaban.

"Rian, aku tahu kamu di dalam! Tolong buka pintunya," seru Lana, suaranya sedikit bergetar. Tapi tetap sunyi.

Merasa putus asa, Lana mengeluarkan kunci cadangan yang pernah diberikan Rian kepadanya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan masuk ke dalam apartemen. Yang ia temukan di dalam hanyalah kekosongan.

Apartemen itu terlihat rapi, hampir terlalu rapi. Tidak ada barang-barang pribadi yang berserakan, tidak ada jaket yang biasa Rian tinggalkan di kursi, atau gelas kopi yang masih setengah penuh di atas meja. Semuanya tampak kosong, seperti apartemen yang tidak berpenghuni.

"Rian?" panggil Lana, suaranya menggema di dalam ruangan yang sunyi.

Ia berjalan pelan menyusuri ruang tamu, matanya menelusuri setiap sudut. Ketika ia memasuki kamar tidur, ia mendapati lemari pakaian yang biasanya penuh dengan baju-baju Rian kini hampir kosong. Hanya tersisa beberapa potong pakaian lama yang mungkin tertinggal.

Lana merasakan kepanikan mulai menyelimutinya. Ia segera mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu teman dekat Rian, Dika.

"Dika, kamu tahu di mana Rian? Aku tidak bisa menghubunginya," tanya Lana, suaranya bergetar.

"Hei, Lana. Sebenarnya aku juga tidak tahu. Sudah beberapa hari ini dia nggak kasih kabar. Terakhir kali dia bilang dia mau pergi sebentar untuk urusan kerjaan, tapi nggak bilang lebih detail," jawab Dika, suaranya terdengar bingung.

"Dia juga nggak bilang apa-apa padaku... Apa mungkin dia memang sengaja menghilang?" Lana berkata pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dika.

"Lana, aku juga nggak ngerti kenapa dia kayak gini. Tapi kalau aku dengar kabar dari dia, aku pasti langsung kasih tahu kamu, ya," janji Dika.

"Terima kasih, Dika," ucap Lana dengan nada lelah sebelum menutup telepon.

Setelah menutup telepon, Lana terduduk di tepi tempat tidur, memandangi lemari yang kosong itu. Rasa cemas dan bingung bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Mengapa Rian memilih pergi tanpa memberi penjelasan apa pun?

Ia berusaha mencari jawaban dengan menghubungi beberapa teman Rian yang lain, namun hasilnya tetap sama. Tidak ada yang tahu di mana Rian berada. Seolah Rian telah menghilang dari muka bumi.

Lana kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Ketika rasa cemas mulai menguasai pikirannya, ia tidak bisa menahan diri untuk berpikir bahwa mungkin ini adalah cara Rian untuk mengakhiri semuanya, dengan menghilang tanpa jejak.

Dengan suara pelan, Lana berbisik pada dirinya sendiri, "Aku tidak bisa terus menunggu penjelasan dari seseorang yang sudah memilih untuk pergi. Kalau ini memang akhirnya, aku harus bisa menerimanya."

Lihat selengkapnya