Satu pagi yang cerah, Lana duduk di kursinya, menatap layar laptopnya yang kosong. Ia mendesah pelan, tangan gemetar di atas keyboard, merasa kehilangan arah tentang apa yang ingin dituliskan.
Meskipun dia telah menemukan sesuatu yang membuatnya tersenyum lagi, dia belum sepenuhnya pulih dari trauma yang pernah menghancurkan semangat menulisnya. Setiap kali melihat laptop yang selalu terbuka di meja kerjanya, ada dorongan kuat untuk kembali menulis, namun hatinya belum siap sepenuhnya.
“Aku ingin menulis lagi... tapi apa?” Lana berbisik pada dirinya sendiri.
Astro memang telah membangkitkan semangat dalam hidupnya, tapi untuk menulis? Rasanya masih seperti sesuatu yang asing. Dia belum tahu harus mulai dari mana, atau bahkan apa yang ingin dia tulis. Tapi dorongan itu ada. Sebuah harapan, meski samar, telah tumbuh di dalam hatinya.
Dia memutuskan untuk membuka file-file lama di laptopnya, yang berisi naskah-naskah yang dulu pernah ia mulai tapi tak pernah selesai. File pertama yang dibukanya adalah sebuah novel romansa yang dia tulis saat masih bersama Rian. Membaca kalimat-kalimat pertama membuat jantungnya berdebar tak nyaman, mengingatkan pada hubungan mereka yang kini tinggal kenangan.
“Tidak,” gumamnya, segera menutup file itu. "Aku tidak bisa melanjutkannya."
Perasaan yang terlalu berat membebani pikirannya. Novel itu penuh dengan bayangan Rian, dan setiap kata yang tertulis membawa kembali rasa sakit yang belum sepenuhnya sembuh.
Namun, dia tidak mau menyerah begitu saja. Dengan hati-hati, dia membuka beberapa file lainnya, satu per satu. Naskah-naskah lama yang penuh dengan berbagai ide dan cerita yang dulu pernah sangat ia cintai. Setiap membuka file baru, Lana merasa sedang mencari sesuatu—sesuatu yang mungkin bisa menjadi jembatan antara dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang. Namun, tidak ada satu pun yang terasa benar.
Namun kali ini, matanya terpaku pada satu file berjudul Love Death. Lana terdiam, sedikit terkejut melihat judul itu lagi. Love Death adalah novel thriller pertama yang pernah ia tulis, sebuah cerita yang ia tinggalkan di tengah jalan karena kehilangan arah. Meski terbengkalai, cerita itu masih membekas di ingatannya.
Novel itu menceritakan tentang seorang gadis yang selalu dihantui mimpi buruk setelah pindah ke rumah baru. Gadis itu tidak hanya menghadapi teror dari mimpi-mimpinya, tapi juga dari masa lalunya yang gelap. Hingga, suatu hari, seorang pria misterius muncul dalam hidupnya, membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Lana menarik napas panjang. "Sudah lama sekali..." gumamnya, jemarinya melayang di atas touchpad laptop, ragu apakah ia siap membuka kenangan lama itu.
Dengan satu klik, file itu terbuka.
Lana mulai membaca kalimat-kalimat yang ia tulis bertahun-tahun lalu. Meskipun waktu telah berlalu, dia masih merasakan ketegangan dalam setiap kata, dan ketertarikan pada karakter-karakter yang pernah ia ciptakan. Mimpi buruk sang tokoh utama, konflik dengan masa lalunya, dan kehadiran pria misterius yang entah baik atau jahat, semuanya masih terasa segar.
Semakin lama ia membaca, semakin ia merasa terhubung kembali dengan cerita itu. Ada percikan semangat yang tiba-tiba tumbuh di dalam dirinya, dan tanpa berpikir panjang, Lana membuka file tersebut sepenuhnya dan mulai mengetik.
"Ini...," Lana tersenyum tipis. "Aku akan melanjutkannya dan melakukan beberapa revisi."
Kalimat demi kalimat mulai mengalir dari pikirannya. Dia tidak merasa terbebani oleh rasa ragu atau takut seperti sebelumnya. Justru, setiap revisi yang ia buat, setiap ide baru yang ia tambahkan, membuat ceritanya semakin hidup.
Lana terus mengetik, lupa waktu. Ia terhanyut dalam cerita yang mulai membentuk dirinya sendiri, seolah-olah novel itu telah menunggu untuk dihidupkan kembali sejak lama. Mimpi buruk dalam cerita mulai terasa seperti cerminan dari apa yang Lana alami dalam hidupnya—ketakutan, kehilangan, dan keraguan.
Rasa cemas dan ragu yang merundung Lana sejak hubungannya berakhir dengan tragis terasa begitu nyata dalam naskah itu. Gadis yang mencoba melarikan diri dari trauma dan ketakutan, sama seperti dirinya yang berusaha lari dari kenangan bersama Rian.
Beberapa jam berlalu, dan Lana berhenti sejenak. Dia membaca ulang paragraf-paragraf baru yang telah ia tulis, merasakan kepuasan yang hampir ia lupakan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa bangga dengan apa yang ia buat.
"Ini... aku," bisiknya. Gadis dalam ceritanya bukan hanya karakter yang ia ciptakan bertahun-tahun lalu. Dia adalah refleksi dari dirinya sendiri, dari rasa sakit dan pergulatan emosional yang selama ini ia coba abaikan.
"Sejak kapan aku menjadikannya tentang diriku?" Lana merasa tersentuh sekaligus terguncang.
Semakin dia tenggelam dalam karakter gadis itu, semakin kuat perasaannya bahwa cerita ini bukan hanya tentang mimpi buruk dan pria misterius, tapi juga tentang proses penyembuhan. Proses yang secara tidak sadar juga sedang ia jalani.
Dengan napas yang lebih ringan dan hati yang penuh harapan, Lana melanjutkan mengetik, kali ini dengan perasaan bahwa dia tidak hanya menulis cerita untuk dibaca orang lain, tapi juga untuk dirinya sendiri.
Lana mulai keluar dari cangkangnya, berkat dorongan Siska. Suatu sore, Siska mengajaknya bertemu dengan teman-teman dari komunitas penggemar ASTRO. Lana sedikit ragu, tapi entah bagaimana, ada perasaan penasaran yang membuatnya setuju untuk ikut.