SMA Tunas Bangsa di pagi hari terlihat ramai. Mobil berjejer antri di depan gerbang sekolah, menunggu giliran menurunkan buah hati ataupun penumpangnya tepat di depan gerbang. Puluhan motor bebas masuk gerbang sekolah, tanpa antrian, kemudian parkir ditempat parkir yang disediakan sekolah. Beberapa siswa terlihat bergegas masuk ke dalam sekolah. Ada yang berlari ke arah kelas, ada yang masih sibuk mengobrol bahkan ada yang dengan santainya nongkrong di kantin sekolah. Beberapa siswa yang akan mengikuti pelajaran olahraga sudah berdiri bergerombol di tepi lapangan basket. Saat bel sekolah terdengar nyaring, semua siswa terlihat bergerak masuk ke dalam kelasnya masing-masing bersiap dengan aktivitas kelasnya.
Yoga, siswa baru, berperawakan tinggi, bertubuh sedang, tampan, berjalan didampingi ibu Inna, seorang guru berumur sekitar empat puluhan, bertubuh gempal, rambut disasak dan terlihat sangar, di koridor sekolah.
Langkah Yoga terlihat sedikit pincang karena kruk yang digunakannya. Namun dengan perawakannya yang keren dan percaya diri membuat pincangnya tertutupi. Siswi-siswi yang sedang berolahraga di tengah lapangan sekolah menatapnya kagum sambil berbisik-bisik. Salah seorang diantara mereka malah menggoda dan melambai ke arahnya.
Yoga mengangguk sopan sambil membalas lambaian mereka dengan senyum. Mereka berteriak histeris melihat senyuman Yoga yang begitu manis. Teriakan mereka terhenti saat bu Inna menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah mereka. Ketika bu Inna kembali berbalik sambil melotot ke arahnya, Yoga langsung salah tingkah dan menundukkan wajahnya sebagai pernyataan maaf.
Yoga berjalan sambil menatap taman dan halaman sekolah barunya yang begitu hijau. Ia tersenyum senang dan merasa akan betah di sekolahnya yang baru. Yoga begitu kagum dengan perpaduan bangunan tua yang kokoh dengan taman hijau di sekelilingnya. Ia merasa sesuatu yang berbeda.
Jantungnya Yoga berdegup kencang saat mereka berhenti di depan sebuah kelas. Ia menarik nafas panjang, bersiap menanti dunianya yang baru.
Ibu Inna berdiri terpaku di pintu kelas. Sebuah gulungan kertas yang berasal dari dalam kelas mengenai tubuh Ibu Inna. Bu Inna terkejut, begitu juga Yoga. Yoga beringsut mundur. Ia melihat wajah ibu Inna yang memerah. Tak berapa, sebuah gulungan kertas lain melayang lagi ke arah mereka. Kali ini lebih besar dan tepat mengenai wajah Ibu Inna. Ibu Inna sepertinya tidak bisa menahan amarah. Hidungnya membesar dan matanya melotot. Ia kemudian berteriak, “BOY!!! QIANDRAAAA!!!”
Kelas berubah riuh. Siswa-siswi mencari tempat duduknya masing-masing. Mereka merapikan meja dan bangku yang sudah berantakan. Boy dan Qiandra ikut berlari ke belakang kelas, ke tempat duduk mereka.
Bu Inna masuk ke dalam kelas, diikuti oleh Yoga di belakangnya. “Boy!!! dan kamu Qiandra… tetap di depan kelas!! Ibu masih mau liat drama kalian. Kayaknya seru tadi!” suara bu Inna terdengar menggelegar. “Akting kalian berdua bagus, apalagi waktu Boy niruin saya tadi. Coba ulangin lagi!!” Ibu Inna mencoba menirukan gaya seperti yang dilakukan Boy. Ia memperbaiki rambut sasaknya sambil melempar wajah dan meliuk-liukkan tubuhnya yang gempal. “Memangnya saya genit begitu?” katanya dengan nada kesal.
Boy menggeleng-geleng ketakutan dari tempatnya duduk. Sementara Qiandra yang duduk disebelah Boy, duduk menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sedang berusaha menahan tawa. Bahunya berguncang-guncang. Dengan susah payah ia menutup mulutnya. Murid-murid lain juga menyembunyikan senyumnya. Dari balik tubuh bu Inna yang lebar, Yoga ikut menahan senyum melihat kelasnya yang ricuh.
“Terlambat sebentar saja kalian sudah heboh. Mana kalian body shamming lagi. Saya lapor kepala sekolah, nyaho’ kalian!” Ibu Inna mengancam. “Ingat…!!! Saya nggak segenit itu.” Bu Inna mendehem. Ia kemudian melihat ke arah Qiandra. “Kamu juga Qiandra… mau menertawakan saya?”
“Enggak buk!” jawab Qiandra keras sambil terus menahan senyum. “Mana berani saya.”. Kelas mulai riuh lagi.
“Kalau masih ada yang tertawa, saya skors jam pelajaran kalian!” Bu Inna menatap ke sekeliling ruangan. Seketika kelas menjadi tenang.
Qiandra menyenggol Boy. Tubuh Boy yang kurus tidak kuat menahan senggolan Qiandra yang cukup kuat. Ia terjatuh. Tak ayal anak sekelas tertawa begitu melihat Boy terjatuh dari bangkunya. Hal ini malah membuat bu Inna semakin kesal.
“Diam!!! Nggak ada yang boleh tertawa.” Ibu Inna berteriak sambil memukul meja dengan penanya.
Mendengar teriakan bu Inna, seisi kelas langsung terdiam. Tiba-tiba Qiandra berteriak dari bangkunya. “Masa kita aja yang dimarahin, Buk. Itu yang dibelakang ibu masih ketawa!” Ia menunjuk ke arah Yoga. Spontan Yoga menutup mulutnya sambil menggeleng-geleng. Siswa lainnya tersenyum. Ia menarik nafas dan menundukkan wajah.
Bu Inna melihat ke arah Yoga sambil menahan nafas. Yoga merasa lega saat bu Inna kembali membalikkan tubuh dan berdiri menghadap kelas. Kelas sudah mulai tenang.
Yoga menatap tajam ke arah Qiandra. Qiandra berpura-pura tidak merasa bersalah. Ia malah tersenyum manis ke arahnya sambil menggulung rambutnya yang pirang dengan jarinya.
“Baik. Kalian sudah tenang.” Ibu Inna mendehem. “Sebelumnya ibu minta maaf, karena terlambat masuk kelas. Tadi ibu dipanggil Ibu Kepala sekolah karena hari ini kita kedatangan siswa baru.” Bu Inna mempersilahkan Yoga untuk berdiri di sampingnya. “Namanya Paramayoga Wistara, tapi kalian bisa panggil Yoga saja.”
Yoga mengangguk ke arah teman-teman barunya, kemudian pandangannya tertumpu ke arah Qiandra yang seolah malas menatapnya sambil bertopang dagu. Rambut pirangnya kali ini sudah terkuncir. Ia meniup-niup poninya. Yoga berusaha menahan senyumnya.
“Sebelum ini, Yoga tinggal di Switzerland bersama orangtuanya. Jadi ibu harap kalian semua bisa menerima Yoga dengan baik, karena Yoga baru beberapa hari di Indonesia.” lanjut bu Inna.
Qiandra kemudian menunjuk tangan. Wajahnya terlihat serius.
Ibu Inna terlihat ragu membiarkannya bertanya. Tapi akhirnya ia membiarkannya bertanya. “Ya… ada apa, Qiandra?”
Qiandra tersenyum manis, yang pasti dibuat-buat. “Gini Buk, ibuk kan tau… kelas kita bukan kelas unggul. Ngomong Indonesia aja udah berantakan, apalagi mau ngomong pake Bahasa Jerman atau Perancis. Yang jago bahasa Inggris aja di kelas kita cuma Boy doang.” Qiandra tertawa sambil melihat ke arah Boy yang terlihat salah tingkah. Kelas mulai riuh lagi. “Trus gimana dong, buk? Masa ngomong pake bahasa tarzan?” Qiandra bertanya dengan nada tolol. Ia kemudian menirukan gerakan tarzan sambil terus tertawa. Semua ikut tertawa.
Bu Inna menarik nafas, berusaha menahan sabar. “Kalian kan belajar Bahasa Jerman.” Bu Inna menatap seluruh siswa yang menatapnya serius. “Nah… kesempatan kan kalian bisa praktek bahasa Jerman ataupun perancis dengan Yoga. Karena di swiss mereka menggunakan 4 bahasa resmi, Perancis, Itali, Jerman dan Roman. Benar begitu Yoga?”
Yoga mengangguk perlahan. “Benar, Bu. Saya juga bisa berbahasa Indonesia.” Yoga membungkuk sopan.
Bu Inna tersenyum ke arahnya. “Walaupun lahir dan tinggal lama Swiss, Yoga masih menghargai negara dan bahasanya.” puji bu Inna. “Karena orangtua Yoga murni Indonesia. Ibunya Minang, ayahnya Jawa. Informasi lainnya nanti kalian langsung tanya Yoga saja.”
Boy mengangkat tangannya. “Buk, boleh nanya?
Bu Inna mengangguk. “Tapi pakai Bahasa Inggris ya? Kan katanya kamu jago.”
Boy tersenyum malu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Wah... kalau gitu nggak jadi deh, Buk. Saya cancel aja deh pertanyaannya.”
“Jangan… kamu bisa mewakili yang lain. Silakan.”