Qiandra sedang membuat pekerjaan rumah di kamarnya. Qiandra menatap jam dindingnya. Masih jam delapan malam. Ia memperhatikan buku yang sedang terbuka di depannya. Ia menutup bukunya dan mendengus kesal. Ada 3 dari 5 soal yang tidak bisa diselesaikannya. Kertas coretannya sudah penuh. Beberapa saat Qiandra masih mencoba menyelesaikan soal-soal itu, namun kembali gagal. Ia meremas kertas coretannya dan melemparnya ke tempat sampah. Qiandra kemudian keluar kamar, hendak meminta contekan kepada Yoga.
Qiandra berjalan mengendap-ngendap di depan kamar Yoga, berharap Yoga belum tidur dan sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Ia berhenti dan bersembunyi di depan pintu kamar Yoga yang sedikit terbuka. Qiandra menatap punggung Yoga yang sedang duduk termenung sambil tertunduk di depan cermin. Ia hendak mengetuk pintu namun terhenti saat melihat Yoga menarik kaki celananya hingga lutut. Qiandra segera bersembunyi dan menarik tangannya kembali. Ia memperhatikan Yoga dari bayangan cermin.
Yoga meringis saat menarik ujung celananya dan kemudian membuka kaki palsunya. Pahanya terlihat memerah. Yoga memijit pahanya perlahan. Ia memperbaiki letak gelangnya dan menariknya lebih keatas.
Qiandra terkejut. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, tak menyangka kalau selama ini Yoga mengenakan kaki palsu.
Tiba-tiba dari arah dapur, Lana berlari kecil ke arah Qiandra yang masih berdiri terpaku di depan kamar Yoga. Melihat wajah Qiandra yang terlihat aneh, Lana tertawa tengil sambil berdiri di hadapannya sambil menggoyang-goyang telunjuknya. “E eh… kamu ketahuan. Lagi ngintip ya?” bisiknya sambil menunjuk hidung Qiandra. “Bang Yoga!!!…diintipin Kak Qian!!!” tiba-tiba Lana bersorak sambil berlari meninggalkan Qiandra seraya tertawa cekikikan.
Muka Qiandra berubah kesal. Ia menjadi bingung. Lana benar-benar keterlaluan, pikirnya. “Sialan...” desisnya.
“Hai…Kenapa?” Yoga sudah berdiri di depan pintu.
Qiandra salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mukanya memerah. “Maaf.., Aku…”
Yoga menatap wajah Qiandra yang memerah.
“Aku… mau pinjam PR kamu,” ujar Qiandra terbata-bata. “Boleh?”
Yoga membalikkan tubuhnya masuk ke dalam kamar dan kembali dengan membawa buku PRnya.
Qiandra menerimanya dengan malu-malu. Matanya menatap ke arah celana panjang Yoga yang terlihat melayang dan kosong.
Yoga menarik nafas.
“Maaf…tadi….”
“Nggak apa-apa.” Yoga menggeleng pelan. Ia mempermainkan kruknya. “Maaf juga sudah buat kamu kaget.”. Ia menatap kakinya.
Yoga kemudian duduk di bangku dekat mereka dengan sedikit meloncat. Yoga merasa senang saat Qiandra ikut duduk tak jauh darinya. Yoga merasa salah tingkah saat Qiandra melihat ke arah kakinya.
Yoga menarik nafas dalam. “Jangan tatap aku seperti itu. Kalau kamu takut, aku akan pasang kakiku dulu.” Yoga tertawa miris. “Aku merasa sudah seperti mainan lego. Kakiku bisa dibongkar pasang,”. Ada nada sedih dalam kalimat yang diucapkannya. Yoga kemudian berusaha berdiri.
Qiandra segera memegang pergelangan tangan Yoga dan mencegahnya berdiri. “Nggak perlu juga, Yo…”
Yoga bernafas lega. Bekas amputasinya terasa pedih. Ia sedikit mengernyit.
“Kamu sakit, Yo?” Tanya Qiandra khawatir.
Yoga menggeleng. Ia kemudian tertawa tertahan seraya melanjutkan, “Aku nggak apa-apa.”
Mata Qiandra menyipit, “Kamu seperti kesakitan.”
Yoga tertawa kemudian menggeleng sambil menepuk-nepuk kakinya. “Tuh… nggak apa-apa kan?” Ia mengembangkan tangannya. “Tapi yang jelas, aku tidak sempurna seperti Radith.”
Qiandra menatap Yoga. Raut mukanya berubah. “Apa?” Qiandra terkejut. “Radith kenapa?” Qiandra balik bertanya pura-pura tidak mengerti.
Yoga menggeleng sambil menyembunyikan tawanya. “Aku bercanda… soalnya kamu kan selalu sama dia.” Yoga kembali menatap Qiandra, melihat reaksinya. “Kalian beneran pacaran?”
Qiandra mengabaikan Yoga. Ia pura-pura sibuk membuka halaman buku PR Yoga.
Yoga hanya mengangkat bahu. “Seisi sekolah sepertinya juga tahu.”
Qiandra terdiam. Ia menyandarkan kepalanya dan merubah posisi duduknya menjadi lebih santai. “Sok tau kamu.”
“Ada yang bilang kalian dijodohkan.”
Qiandra kembali diam. Ia berpura-pura menghitung soal yang tadi dicarinya.
“Apa kamu tidak bisa merasakan sikap Radith yang berbeda?”
Kali ini Qiandra melotot menatap Yoga. “Kamu kepoin aku, Yo?” Wajahnya tampak kesal. Ia hendak berdiri. Yoga menarik tangan Qiandra dan memaksanya untuk duduk. Qiandra menepisnya. Ia menatap Yoga tajam. “Aku nggak mau kamu tanya-tanya soal aku ke siapa aja. Karena itu bukan urusan kamu!” ujar Qiandra dongkol. “Aku nggak suka!”
Yoga menatap Qiandra dalam. Ia berusaha terlihat tenang. “Qian… dia sering melecehkan kamu.” Yoga terhenti sebentar, “Aku tahu kalau kamu juga nggak suka. Jadi jangan biarkan dia terus-terusan memperlakukan kamu seperti itu.”
Qiandra menatapnya sinis. Matanya memerah. Jantungnya berdebar keras. “Nggak usah ikut campur, Yoga! Mau pacar atau tidak, nggak ada urusannya sama kamu!” Ia meletakkan buku Yoga diatas meja. Qiandra membalikkan tubuh dengan cepat dan berlari meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Yoga yang hanya diam terpaku di tempatnya. Ia kemudian menarik nafas dalam sambil menatap buku PRnya yang tertinggal di atas meja.
.----------------------------------------------------
Setelah beberapa saat, Yoga meraih buku PRnya. Ia hendak mengantarkan buku PRnya ke kamar Qiandra. Yoga merasa bersalah sudah menyudutkan Qiandra. Ia mengeluarkan sebatang coklat dari dalam tasnya dan meletakkannya diantara halaman bukunya. Yoga keluar dari kamarnya. Rumah terlihat sepi. Kamar Qiandra kosong. Ia berjalan menuruni tangga, kemudian berjalan menuju ruang keluarga. Ia tersenyum sendiri saat melihat Qiandra tertidur dalam posisi duduk, menelungkupkan wajah diatas meja. Posisi wajahnya yang menempel di antara halaman buku, membuat wajahnya terlihat lucu. Yoga tersenyum melihat buku-buku Qiandra yang berserakan. Kertas coretan yang bertumpuk. Ia memperhatikan halaman yang sedang dikerjakan Qiandra. Hanya tiga soal yang baru dikerjakan. Yoga mengerti alasan Qiandra meminjam buku PRnya. Ia kemudian duduk di samping Qiandra sambil memperhatikan wajah Qiandra yang masih tertidur.
Yoga kemudian meletakkan buku PR dan coklatnya tepat di dekat wajah Qiandra, dengan note “Maafkan aku. ” Yoga merapikan beberapa buku dan kembali ke kamarnya.
----------------------------------------------------