Setelah menyelesaikan acaranya, Qiandra bergegas menuju mobilnya. Disana Sandra, Radith dan mamanya sudah menunggunya. Perasaan Qiandra merasa tidak enak. Ia yakin Radith sedang merencanakan sesuatu yang membuatnya tidak bisa menjenguk Yoga lagi. Ia berusaha tenang dan tersenyum ke arah mereka bertiga. Qiandra bertambah sedih saat Radith mengeluarkan buket mawar besar dari dalam mobilnya. Tubuhnya terasa lemas. Kejadian yang sama akan terulang kembali. Radith akan meminta maaf dan ia akan memaafkannya. Hal yang sama yang berulang-ulang terjadi. Ia menggeleng-geleng menatap buket tersebut. Matanya berkaca-kaca.
Sandra dan mama Radith masuk ke dalam mobil dan menunggu mereka disana. Sementara Radith menghampiri Qiandra sambil membawa buketnya. Ia mengelus pipi Qiandra yang terasa lembab. Radith pura-pura tidak tahu bahwa Qiandra baru saja selesai menangis.
“Kamu tampil cantik sekali hari ini. “, Radith menyodorkan buketnya. “Selamat ya…”
Qiandra diam saja menatap buket itu.
“Aku tahu kamu masih marah.” ujar Radith sambil menatap ke arah Sandra dan mamanya. “Tapi tolong hargai aku di depan mereka.”
Qiandra menelan air ludahnya. Antara sedih dan kesal. Radith seolah menjebaknya. Ia melihat ke arah Sandra dan mama radith yang menatap mereka sambil tersenyum bahagia. Ia merasa sangat sedih. Qiandra merasa ia harus mengakhiri ini semua. Tapi tidak mungkin di depan mereka.
Radith meraih jemari Qiandra. “Malam ini mama ulang tahun. Mama mengajak makan malam bersama.” Ia memaksa Qiandra untuk memegang buket pemberiannya. “Kita akan bicara lagi setelah makan malam, ok?”
Qiandra melepaskan pegangannya.
Sandra terkejut melihat Qiandra melakukan hal itu. Ia merasa tidak enak dengan Radith.
Radith tidak perduli, ia menarik tangan Qiandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Qiandra terpaksa menurut. Ia menyadari bahwa ini bukan saat yang tepat untuk memutuskan Radith. Ia pasrah dan mengikuti kehendak Radith.
----------------------------------------------------
Yoga sedang sibuk dengan laptopnya saat Mira masuk ke kamarnya. Mira kemudian duduk di dekat tempat tidur Yoga. Ia kemudian mengupas beberapa buah apel. Sambil memberikannya kepada Yoga, ia mencoba mengintip apa yang sedang dikerjakan Yoga. Yoga tersenyum kemudian menutup laptopnya.
“Lagi buat apa, Yo?”
Yoga mengangkat bahu. “Try to be productive aja, Tan. Sudah lama tidak membuat lagu.” Yoga tersenyum sendiri. “Daripada gabut… nggak jelas.”
Mira tersenyum, menatap bangga ke arah Yoga. Matanya kembali berkaca-kaca.
Yoga menatap mata Mira yang bengkak. “Tante nangis?”
Mira menyembunyikan rasa sedihnya. Ia segera menggeleng.
“Mata tante bengkak.” Ujar Yoga singkat.
Mira kembali menggeleng. “Enggak… tante tadi lewat dapur rumah sakit. Trus ada yang bakar sampah juga di dekat situ. Kelilipan asap.”
Yoga merasa bersalah dan menyesal. Ia menatap Mira yang salah tingkah dan berpura-pura sibuk merapikan tempat tidur dan selimut yang kusut. “Aku minta maaf, Tante… kalau saja aku nggak pergi waktu itu… tante nggak akan seperti ini.”
Mira tersenyum. “Tante akan melakukan hal yang sama, jika saja tante diposisi kamu. Jadi tidak ada yang perlu dimaafkan. Tante bangga kamu melakukannya, karena semua tanggung jawabmu, Yo.”
Yoga terdiam. Ia merasa bersyukur bisa memiliki keluarga seperti Mira. Yoga merasa terharu.
“Festival sudah usai. Kamu harus siap-siap untuk ujian akhir… dan persiapan untuk kuliah.” Mira mencoba menghibur Yoga. “Tante liat kamu berbakat di musik. Sekolah musik yang bagus ada dimana, ya? Atau diluar negeri?”
Yoga tertawa sambil menggeleng-geleng. “Aku nggak mau kuliah diluar negeri, Tante. Tante udah bosan sama aku?”
Mira menggeleng dengan cepat. “Hah? Siapa bilang? Tante senang kamu ada disini. Iya juga sih…ngapain harus sekolah diluar negeri?”
Yoga tersenyum menatap Mira terlihat kebingungan sendiri.
“Atau nanti kita bisa bikin studio sendiri?” Mira menawarkan sesuatu yang menarik. Yoga mengangguk-angguk setuju. Ia menunjukkan jempolnya.
“Kalau itu, aku setuju, Tan.”
Mira tertawa dan ikut mengangguk-angguk.
Tiba-tiba handphone Yoga berdering. Mira melihat nama yang tertera di layarnya. Telpon dari papa Yoga. Yoga hanya diam menatap handphonenya yang terus berdering. Ia terlihat menarik nafas.
“Kenapa nggak diangkat, Yo?”
Yoga diam saja. Kemudian menggeleng.
Mira ikut diam. Ia cukup mengerti mengapa Yoga tidak mau mengangkatnya.
Yoga membiarkannya hingga handphonenya berhenti berdering. Ia kemudian menarik selimutnya dan berbaring.
Mira memaksa dirinya untuk tersenyum dan membiarkan Yoga untuk beristirahat.
Diam-diam Mira mengirimkan pesan kepada Jonan. ‘Yoga sedang tidur’. Ia kemudian kembali menyimpan handphonenya.
---------------------------------------------------
Qiandra tersenyum senang saat melihat buket buah yang dibawanya. Didalamnya ada dua bungkus coklat kesukaan mereka. Qiandra melangkah dengan riang masuk ke dalam rumah sakit. Sesampai di depan kamar Yoga, langkah Qiandra berhenti. Qiandra mengurungkan niatnya untuk membuka pintu saat melihat punggung Myria dari kaca pintu. Jantungnya berdetak kencang. Tiba-tiba ia merasa lemas. Qiandra melihat Myria sedang menyuapi Yoga. Mereka terlihat mesra sekali. Ia kembali teringat pada saat Yoga meninggalkannya di belakang panggung untuk mengejar Myria. Mata Qiandra berkaca-kaca. Ia meletakkan buket buahnya di depan pintu, kemudian pergi meninggalkan kamar itu dengan perasaan kecewa.
----------------------------------------------------
Myria sedang merapikan alas tidur di ruang rawat inap Yoga. Ia tersenyum saat melihat Yoga keluar dari toilet sambil menenteng alat infusnya.
Yoga kemudian naik dan duduk di tepi tempat tidur. “Lebih baik kamu segera pulang.” Yoga menatap Myria. “Aku nggak apa-apa. Sebentar lagi tante Mira datang.”
Myria menatap Yoga sambil terus merapikan kamar. “Kamu mengusir aku, Yo?”
Yoga menggeleng. “Mana mungkin aku mengusir kamu.”
Myria menunduk sedih. “Tapi aku masih mau disini.”
“Mendung di luar. Nanti kamu kehujanan.”
Myria diam saja. Tak lama kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya.
“Di dalamnya ada kartu ujian sekolah. Kebetulan kita dapat lokasi ujian yang sama.” Ia menatap Yoga yang mulai berbaring. “Contoh-contoh soal dan copy catatan selama kamu absen juga ada didalamnya.” Ia menyerahkannya kepada Yoga.
Yoga hanya menatapnya, kemudian menaruhnya di atas meja disampingnya. Myria menatap amplop yang hanya pindah tempat itu.
“Nggak dibuka dulu, Yo?” jantung Myria berdebar kencang. Ia berharap Yoga membukanya dan menemukan surat yang ditulisnya semalaman disana. Surat pernyataan cintanya.
Yoga menatapnya kemudian menggeleng. “Nanti saja.”