Yoga sedang merapikan bungkusan cd dan buku puisinya di kamarnya saat Qiandra datang bersama Jonan dan Mira. Yoga terkejut melihat Qiandra sudah berada di dekatnya.
“Hai, Yo…”
Yoga segera membereskan meja dan memasukkan bungkusan-bungkusan itu ke dalam lacinya. Ia menatap gadis itu tidak percaya.
Qiandra merasa sedih melihat wajah pucat Yoga. Ia langsung mengeluarkan sebatang coklat dari dalam tas sandangnya dan memamerkannya kepada Yoga dengan girangnya. Lesung pipinya menyembul keluar. Qiandra merasa senang saat melihat Yoga membalasnya dengan tersenyum. Qiandra kemudian membuka bungkusnya dan membagi setengahnya kepada Yoga.
Jonan dan Mira membiarkan mereka berdua. Mereka mengangguk ke arah Qiandra dan meninggalkan ruangan itu dengan perasaan tidak menentu.
Qiandra kemudian menyerahkan goodybagnya kepada Yoga. Diatasnya tersembul beberapa brosur dan handbook beberapa perguruan tinggi.
Yoga meraihnya dan membacanya satu persatu. Sesekali ia menatap Qiandra yang terus duduk dengan manja di dekatnya.
“Kita bisa kuliah di kampus yang sama.”
Yoga menatap Qiandra dalam.
“Kamu ambil art dan musik… aku mungkin ambil pendidikannya. Aku mau jadi guru.”
Yoga tersenyum sambil menahan tawa. “Guru?”
Qiandra mengangguk pasti. “Ya.” Ia menatap Yoga yang masih tertawa. “Memangnya kenapa? Aku nggak pantas jadi guru?”
Yoga mengangguk-angguk setuju. “Pantas saja.” Ia mengunyah coklatnya. “Tapi kamu yakin?”
Qiandra mengangguk-angguk kembali. Ia mulai kesal saat Yoga seolah mengoloknya.
“Aku memang nggak sepintar kamu, Yo… tapi aku yakin bisa jadi guru yang baik.”
Yoga menatap Qiandra dengan mata berbinar. “Guru secantik kamu pasti sering bikin ricuh kelas.”
Qiandra tertawa seolah mengagumi diri sendiri. Tersenyum-senyum sendiri. Yoga tertawa melihat sikap Qiandra yang kekanak-kanakan.
“Kita kuliah di Padang saja. Ngapain jauh-jauh.” Ujar Qiandra sambil mendorong kursi roda Yoga ke arah teras.
Yoga menurut saja. Ia menghabiskan coklatnya sambil terus tersenyum ke arah Qiandra.
“Myria apply beasiswa di international university of Geneva. Dan kamu tahu Yo… dia lulus! Hebat ya?”
Yoga ikut merasa senang. Myria sudah mengabarinya semalam. Ia menatap Qiandra dalam. “Kenapa kamu menolak tawaran keluarga Radith?”
Qiandra menggeleng perlahan. “Hutang aku sudah terlalu banyak, Yo..” Ia tertawa. “Dan aku nggak mau numpuk hutang lagi. Aku capek.” Ia menepuk jidatnya sambil tertawa keras. “Aku juga mau jadi Qiandra yang bebas…bebas… kayak burung…” Qiandra melebarkan tangannya seolah hendak mengembangkan sayapnya bersiap untuk terbang. “Aku dan Radith sudah tidak ada hubungan apa-apa.”
Yoga menyimpan senyumannya.
“Lega rasanya Yo… bisa lepas dari kesepakatan perjodohan tidak jelas itu.”
Senyum Yoga terasa hambar. Ia melihat kesedihan di mata gadis itu. Ia bisa melihat semua itu walau Qiandra berusaha menyembunyikannya.
“Aku bahagia sekali saat tante Mira datang… dan mengajak aku ke sini…” Matanya berbinar-binar. “Aku senang bisa ketemu kamu lagi.”
Yoga menatap Qiandra tidak berkedip.
“Malam ini kita bisa ngobrol lagi kayak dulu…” Qiandra tertawa. “Sampe pagi.” Ia terkekeh.
“Malam?” tanya Yoga bingung.
Qiandra mengangguk. Ia memperlihatkan tasnya. “Aku liburan, Yo… libur.” Ia memperhatikan Yoga yang mulai kebingungan. Qiandra tertawa. “Jangan banyak tanya, nanti malah tambah bingung.”
Yoga menatap Qiandra masih dengan tatapan bingung.
“Sepertinya kamu butuh udara segar.” Ia mendorong kursi roda Yoga ke arah taman.
----------------------------------------------------