Baru berjalan empat bulan Zahra sudah hamil lagi anak keempat. Jarak kehamilan yang dekat membuatnya tak siap untuk memiliki anak lagi. Kondisi psikologisnya menjadi labil karena dia masih harus menyusui bayinya yang baru saja bisa tengkurap. Dia mengunjungi dukun beranak, meminta agar dukun itu mau membantunya menggugurkan janin dalam rahimnya, namun dukun itu tak berani. Dia hanya memberikan ramuan peluntur janin. Tetapi setelah berjalan sebulan, tak ada perubahan, kandungan Zahra tetap makin membesar. Kemudian dia mencoba meminum spirtus dan memakan kamper untuk menghilangkan janin dalam rahimnya hingga jatuh sakit dan nyaris membahayakan nyawanya sendiri.
Dokter menyarankan Zahra untuk menghentikan usahanya mengugurkan kandungan dan mulai menerima bayi dalam rahimnya. Hasil pemeriksaan dokter, bayi dalam kandungannya kemungkinan akan mengalami cacat. Namun dokter tidak dapat menjelaskan cacat apa yang dimaksud. Mengetahui hal itu, suaminya menyuruhnya untuk pindah dari Medan ke Jakarta dengan harapan akan mendapatkan penanganan medis yang lebih baik di Jakarta.
Waktu persalinan pun tiba, saat dilahirkan bayinya tidak menangis, berbeda dengan bayi pada umumnya. Namun, di saat dia menangis untuk pertama kali, bukan airmata yang keluar dari kedua matanya, tetapi darah. Zahra sangat shock melihat kondisi bayinya. Dokter menyatakan mata kanan bayinya mengalami pecah pembuluh darah dan micropthalmia pada mata sebelah kirinya. Putra bungsunya terlahir buta.
Mengetahui hal tersebut, Zahra masih belum bisa menerima kenyataan atas cacat bawaan yang dialami bayinya. Bayi itu tidak disusuinya selama tiga bulan. Zahra hanya menyusui anaknya yang lain, sedangkan bayinya yang baru lahir hanya diberi minum gula aren oleh seorang nenek tua yang kasihan melihat kondisi bayi malang tersebut. Nenek itu sering menasehati Zahra, hingga pada akhirnya mau menyusui bayinya. Namun, karena dia harus menyusui dua bayi, mengakibatkan Zahra sering pingsan. Kemudian bayinya yang buta disusui oleh adik Zahra yang baru memiliki bayi berusia empat bulan.
Lambat laun Zahra mau menerima kondisi putranya yang terlahir istimewa. Dia memberinya nama Melody. Kemudian dia dan suaminya mencoba membawa Lody
ke dokter mata. Dokter hanya memberi saran untuk mulai mendidik seorang anak tunanetra dengan cara merangsang tumbuh kembangnya dengan mainan yang bisa mengeluarkan bunyi-bunyian dan merangsang indera lainnya untuk mengenali benda.